ardiannugroho.com | Sebuah pertanyaan menggelitik terlontar dari sebuah pementasan Kerajaan Burung karya Saini K.M. “Bagaimana jadinya jika burung-burung menghilang?” Drama musikal kolaborasi dari Metta Birawa dan Metta Budaya ini berusaha memberikan jawabannya secara sederhana.
Di sebuah hari yang cerah, sekelompok burung sedang bersuka cita. Mereka bernyanyi sambil menikmati hari sebagai rutinitas pagi. Tiba-tiba datang dua bocah bernama Didu dan Dudi. Burung-burung yang sudah terbiasa dengan manusia tak melihat ada hal yang aneh sampai tiba-tiba salah satu dari mereka terjatuh.
Dengan ketapel yang dibawa, Didu dan Dudi menyerang para burung dan melukai dua ekor burung. Kedua bocah itu bangga bisa mengenai burung-burung tersebut. Malah, mereka berniat untuk berlomba menangkap burung.
Burung-burung ketakutan dan terbang menjauh. Mereka berencana untuk pergi dari lingkungan tersebut karena takut akan menjadi korban Didu dan Dudi selanjutnya. Sebelum pergi, mereka bertemu dengan sahabat mereka, Kiku. Burung-burung hendak pamit dan menceritakan alasan kepergian mereka.
Ancaman kepunahan
Sepanjang cerita, pertanyaan tadi bergumul di dalam pikiran saya. Tahun 2018 lalu kita memperingati satu abad hari burung. Selama seratus abad belakangan jumlah burung yang punah semakin banyak. Salah satunya adalah burung Makaw Spix, burung berwarna biru yang menjadi tokoh utama di film animasi Rio. Sementara di Indonesia, sekitar 122 spesies burung terancam punah, 18 spesies bersifat kritis, 31 genting, dan 73 rentan.
Penyebabnya bukan ancaman dari anak-anak seperti Didu dan Dudi. Hutan tempat tinggal mereka sudah mulai berkurang sedikit demi sedikit. Banyak juga yang beralih fungsi menjadi perumahan atau perkebunan korporasi. Perkebunan sawit adalah salah satunya contohnya.
Tingginya permintaan burung langka di pasar gelap dengan harga fantastis menjadikan para pemburu ilegal menangkap dengan semena-mena. Akibatnya jumlah kukila di alam liar semakin berkurang. Ancaman kepunahan pun tak terhindarkan lagi. Hal ini jauh lebih serius daripada sekadar anak-anak memburu burung menggunakan ketapel.
Setelah para kukila pamit pada Kiku, mereka semua kembali ke kerajaan burung. Dalam beberapa waktu selanjutnya, warga desa mulai menyadari kejanggalan. Tiap pagi tak ada lagi kicau burung yang biasa mereka dengar. Warga mulai resah dengan lenyapnya para burung yang sudah menjadi bagian dari mereka.
Puncaknya ketika banyak ulat, serangga, tikus, dan hama lain seketika meningkat jumlahnya. Mereka menyerang tanaman warga. Warga pun terancam gagal panen dan kehilangan pasokan makanan. Keadaan ini akhirnya membuat mereka sadar bahwa semua ini akibat dari menghilangnya burung-burung yang biasa memangsa para hama.
Dampak yang digambarkan dalam drama musikal tersebut memang terkesan sepele. Namun, hal tersebut cukup memberi gambaran apa yang akan terjadi jika para kukila lenyap akibat kecerobohan manusia yang mengambil paksa habitat mereka.
Pastinya ketika kukila lenyap, keseimbangan alam pun akan terganggu. Bukan tidak mungkin akan muncul dampak yang lebih besar daripada meningkatnya jumlah hama tanaman.
Beruntung Kiku bisa pergi ke Kerajaan Burung dan meyakinkan para burung agar kembali setelah berjanji bahwa Didu dan Dudi tidak akan melukai mereka. Lalu jika para kukila punah, tega kah kita membiarkan anak cucu kelak hanya melihat dan mendengar kicaunya dari gawai saja?