ardiannugroho.com | Semburat kemerahan mulai merekah di cakrawala. Gelap menyingkir perlahan. Seakan tau diri bahwa waktunya telah usai dan harus berganti. Pemandangan indah ini saya nikmati dari sebuah wisma bikku Jaya Wijaya, Kaloran, Temanggung.
Ini adalah kali kedua saya menginap di kompleks Wihara. Sebelumnya, saya menumpang nginap di Wihara Damadwipa ketika sedang berkunjung ke Malang dan Batu. Tujuan kali ini berbeda. Bersama beberapa teman, kami menjadi relawan gerakan sejuta kacamata untuk Indonesia, yang juga merupakan pengalaman kedua saya setelah Wonosobo.
Sejuta kacamata adalah sebuah komunitas yang memberikan bantuan kacamata gratis. Komunitas ini sudah berjalan sejak tahun 2015. Awalnya komunitas ini bernama seribu kacamata untuk Indonesia. Namun, karena sudah ribuan kacamata yang dibagi, komunitas ini pun berganti nama menjadi sejuta kacamata untuk Indonesia.
Kacamata Plus untuk Lansia
Antusiasme warga desa Kaloran, Temanggung cukup besar. Mereka berbondong-bondong datang. Padahal waktu belum menunjukkan pukul sembilan. Sebagian besar adalah lansia yang memang menjadi penerima utama gerakan sejuta kacamata gratis. Lansia dipilih karena hanya kacamata plus saja yang akan dibagikan. Pun kacamata tersebut adalah kacamata baca saja.
Tak hanya warga desa yang antusias. Para relawan gerakan sejuta kacamata pun sudah banyak yang berdatangan. Sebuah bus kecil diikuti beberapa mobil dan motor berdatangan memenuhi halaman depan aula. Mereka adalah warga Temanggung yang juga ingin membantu membagikan kacamata kepada para lansia.
Di dalam aula, para panitia sedang melakukan persiapan dan pengarahan. Kacamata-kacamata disusun di atas meja secara berurutan mulai dari plus 0,5 hingga 4,0. Mas Dhanang menjelaskan secara detail hal-hal yang harus dilakukan para relawan yang baru pertama kali mengikuti kegiatan ini. Di sini, setiap orang tua yang datang akan dites terlebih dahulu untuk menentukan kacamata mana yang sesuai untuknya. Beberapa tahapan musti dilalui agar para lansia menerima kacamata sesuai dengan kebutuhan.
“Wuru-wuru (kabur), mas,” ujar seorang lansia ketika mencoba kacamata yang disodorkan. Seorang relawan lalu mengganti dan mencobakan kacamata plus dengan ukuran yang berbeda. Setelah itu, lansia tersebut diminta untuk mencoba membaca tulisan yang sudah disiapkan. Hal tersebut dilakukan berulang-ulang hingga menemukan kacamata plus dengan ukuran yang tepat bagi penerima.
Bagi para lansia yang tidak bisa membaca karena buta huruf, sebuah tes yang cukup unik diberikan. Mereka harus memasukkan benang ke dalam lubang jarum. Jika berhasil, maka kacamata tersebut cocok untuknya. “Kita harus berpikir kreatif,” kelakar mas Danang di sela brifing.
Senyum mengembang di wajah para lansia yang menerima kacamata. “Saya tambah ganteng, mbak,” ujar salah seorang penerima kacamata kepada dokter Eny yang bertanya tentang kesannya. Kemudian disusul tawa oleh semua yang mendengar.
Kegembiraan warga menepis kekhawatiran yang sebelumnya sempat menyeruak bahwa kemungkinan akan ada warga yang menolak masuk ke aula vihara karena berlainan agama. Nyatanya kegiatan sejuta kacamata berjalan lancar dari awal hingga akhir acara. Panitia pun juga menyerukan bahwa kegiatan ini adalah kegiatan lintas agama dan kami datang dari latar belakang agama yang berbeda-beda.
Pukul satu siang tinggal satu dua warga yang terlihat. Stock 300 buah kacamata plus yang kami bahwa hampir ludes dibagikan. Beberapa warga bahkan harus inden 2-3 minggu dikarenakan kacamata plus dengan ukuran tertentu sudah habis.
Melihat senyum di wajah relawan dan warga yang datang, saya kembali belajar tentang toleransi. Hal ini mengingatkan saya tentang apa yang pernah diutarakan Gus Dur, “Tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah tanya apa agama atau sukumu.”