Aris menarik tali ketapel dengan kencang ke arah wajahnya. Dengan satu mata terpejam, ia memusatkan pandangannya. Sekitar tiga meter di depannya, tersusun kaleng-kaleng kosong yang menjadi sasarannya. Beberapa kali ia menggeser posisi tangannya agar sejajar dengan tumpukan kaleng tersebut. Dalam beberapa percobaan sebelumnya, hasilnya selalu meleset. Belajar dari kesalahan, kali ini ia lebih tenang dan bersabar.
Dengan yakin, ia melepas genggaman tangan kirinya. Bola kecil sebagai peluru ketapel meluncur dengan cepat menuju kaleng-kaleng yang disusun bak piramida. Dalam sepersekian detik, “KLANG!!” Peluru tersebut menubruk piramida kaleng dan membuatnya beterbangan. Aris bersorak kegirangan. Raut muka puas tergambar di jelas wajahnya. Lagaknya seperti baru saja memenangkan sebuah perlombaan bergengsi. “Keno to?” ujarnya pada temannya.
Aris adalah salah satu dari sekian banyak anak-anak yang saya temui di Festival Dolanan Anak. Sama seperti Aris, anak-anak lain juga sangat antusias memainkan permainan yang dulu sering saya mainkan saat berusia sama seperti mereka. Ketika saya tanya, beberapa dari mereka mengaku sangat senang dan baru pertama kali ini memegang permainan tradisional tersebut.
Ada beberapa macam permainan tradisional yang disiapkan di Festival Dolanan Anak ini, seperti ketapel, gasing, engklek, kelereng, dan dakon. Setiap permainan dijaga oleh seorang panitia yang akan mengajari anak-anak bagaimana cara bermainnya. Tak lupa, sebuah infografis juga diletakkan di samping booth permainan agar setiap orang bisa sejarah, nilai karakter, tata cara bermain, dan makna dari permainan tersebut.
“Festival Dolanan Anak ini bertujuan untuk mengenalkan kembali permainan tradisional yang sering kita mainkan ketika kita masih kecil, Mas,” ungkap Angga, salah satu panitia kepada saya. “Anak-anak sekarang kan lebih sering bermain gadget sendiri di rumah dan jarang ketemu dengan teman-temannya.”
Tak dipungkiri jika kemajuan teknologi telah membentuk kebiasaan dan budaya baru. Saat ini anak-anak memang lebih suka berlama-lama di depan gawainya daripada bermain di luar rumah. Apalagi sejak pandemi Covid-19 terjadi di seantero negeri dan sekolah harus dilakukan secara daring. Dari sini jua lah muncul kelompok baru, kaum rebahan.
Alhasil kebiasaan bersosialisasi semakin minim dan jerat gawai semakin lekat. Tak hanya anak-anak, orang dewasa pun tak lepas dari perangkapnya. Bahkan ketika pandemi Covid-19 sudah mulai mereda dan terkendali, jerat gawai masih lebih kuat daripada bermain dengan teman sebaya. Ironis memang. Jika dulu orang tua saya selalu mencari cara agar saya betah di rumah, kini banyak orang tua yang mengeluh anak-anaknya tidak mau keluar rumah.
Padahal, jika ditelaah kembali, mainan tradisional memiliki banyak manfaat bagi anak-anak. Tidak hanya sekadar membuat anak merasa senang, tetapi juga melatih saraf motorik mereka. Ketika bermain ketapel misalnya. Anak-anak memegang ketapel dengan satu tangan dan tangan lain menarik karet dengan kencang. Mereka juga harus berkonsentrasi melihat sasaran yang jauh serta mencari sudut yang tepat agar pelurunya mengenai sasaran. Pijakan kakinya juga harus kuat menopang badan agar tidak kehilangan keseimbangan yang bisa mempengaruhi arah pelurunya.
Bandingkan dengan anak-anak yang hanya menghabiskan waktu bersama gawainya. Mereka duduk terpekur atau tiduran seharian dengan mata yang cukup dekat dengan gawai. Cuma ibu jari dan mulut yang paling sibuk bekerja. Entah scrolling sosial media, bermain game, menonton video, atau mengomentari berita trending.
Hasilnya, rabun jauh menjadi gangguan mata yang paling umum diderita anak-anak. Bahkan prediksi WHO, di tahun 2050 akan terjadi ledakan rabun jauh atau Myopia Booming. Selain itu, obesitas pada anak juga meningkat dengan signifikan. Penelitian Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa obesitas di Indonesia meningkat menjadi 21,8%. Kurangnya olahraga disinyalir menjadi penyebab utama selain pola makan tak sehat. Belum termasuk kelainan tulang punggung yang menghantui karena terlalu sering menunduk.
Pun begitu, hendaknya kita tak hanya menyalahkan anak-anak semata. Justru hendaknya orang dewasa yang berkaca. Karena, anak-anak hanya meniru apa yang dilakukan orang dewasa. Sekarang menjadi PR kita bersama agar anak-anak bisa lepas dari jeratan gawainya dan Festival Dolanan Anak ini menjadi salah satu solusinya.
Pada akhirnya, saya setuju dengan Angga agar festival seperti ini bisa terus dilakukan setiap tahunnya. Syukur-syukur diadopsi di banyak tempat. Kalau bukan orang dewasa yang mengajari permainan tradisional kepada anak, lalu siapa lagi? Jangan sampai anak-anak hanya mendengarnya sebagai dongeng belaka.
BACA JUGA: