Wabi-sabi, Seni Menghargai Ketidaksempurnaan

wabi-sabi
Mawar merah yang mulai layu. (Foto: dok.pri.)

Aku duduk termangu menatap setangkai bunga mawar merah yang mulai layu. Tak sempurna, namun indah, pikirku. Warna merah mahkotanya semakin pekat, namun tak lagi memikat. Susunannya juga tak lagi lengkap. Beberapa sudah berguguran dan tergeletak tak berdaya di atas tanah seperti menunggu dikoyak cacing tanah. Aku membayangkan bagaimana ia dulu dielukan. Ketika warna merahnya masih ranum menggoda. Ketika mahkotanya masih mekar sempurna. Kini, tak ada yang meliriknya. Membiarkannya sendiri, menunggu mati tergerogoti sepi.

Dalam lamunanku, terlintas sebuah kata di kepala, Wabi-sabi. Wabi-sabi adalah sebuah seni dari Jepang yang menghargai keindahan dalam ketidaksempurnaan. Melalui Wabi-sabi, kita kembali diingatkan bahwa hidup tidak kekal, tidak sempurna, dan tidak selesai. Justru dalam ketidaksempurnaan itu kita belajar menerima untuk melihat keindahannya.

Manusia umumnya menyukai kesempurnaan. Sesuatu akan tampak indah dan sempurna jika tak ada cacat sama sekali. Satu goresan kecil saja akan mengurangi nilainya dan orang akan beranggapan bahwa ia tak lagi sempurna. Lalu menjauh, melupakannya, dan berpaling pada lainnya. Padahal, setiap goresan memiliki cerita dan setiap cerita berharga.

wabi-sabi
Retakan pada gelas menyimpan sebuah cerita tersendiri. (Foto: dok.pri.)

Sejatinya, kesempurnaan hanyalah bagian terbaik dari banyak ketidaksempurnaan. Seorang seniman bisa menghasilkan karya yang sempurna setelah menghasilkan berbagai karya yang tidak sempurna. Lagipula, kesempurnaan memiliki rentang masa, tak bisa kekal selamanya. Seperti bunga mawar yang sedang kulihat. Orang beranggapan bahwa ia cantik ketika mekar dengan sempurna dengan warna merah merona. Sedangkan sebelum dan sesudah mekar, dianggap biasa saja, tidak sempurna.

Kesempurnaan juga bersifat subjektif, bukan objektif. Sempurna bagi satu orang, bisa saja tak sempurna bagi orang lainnya. Bagi orang yang mengerti seluk beluk kopi, ia akan memperhatikan dengan saksama jenis kopi, ukuran bubuk kopi, suhu air, hingga cara penyeduhan. Bagi yang tak biasa, hal ini tentu rumit dan sulit dimengerti.

Sebaliknya bagi kakak saya, kopi sempurna itu lebih sederhana. Segelas kopi yang sempurna harus hitam pekat dengan gula satu sendok dan diseduh dengan air mendidih. Setelah itu dia akan menyesapnya, lalu menghembuskan nafas panjang, seolah semua lelahnya sirna.

Dari Wabi-sabi kubelajar untuk tak perlu mengelukan, pun mengejar kesempurnaan. Justru sebaliknya, merengkuh ketidaksempurnaan dan kekurangan serta belajar memahami kecantikan yang tersembunyi di dalamnya. Karena sejatinya memang tak ada yang tanpa cela. Layaknya sebuah peribahasa, tak ada gading yang tak retak.

BACA JUGA:

1 Comment

Comments are closed.