Benarkah Nenek Moyangku Seorang Pelaut?

Pintu gerbang Museum Manusia Purba Sangiran

Yang saya tahu Ibu saya berasal dari Banjarmasin dan Ayah saya berasal dari Magelang, tapi lebih jauh dari itu, saya hanya tahu bahwa kakek buyut saya dari Aceh. Hanya saja saya cuma mengenal kakek buyut lewat cerita dari Ayah saya. Beliau pun juga mengenalnya dari cerita nenek saya. Tidak banyak cerita yang bisa digali mengenai kakek buyut saya karena memang tidak ada informasi tertulis yang bisa dijadikan referensi. Namun saya cukup beruntung bisa melihat wajahnya walau hanya dari sebuah foto hitam putih yang usang.

Lebih jauh dari itu, saya tidak punya gambaran siapa nenek moyang saya. Yang saya tahu bahwa nenek moyang saya adalah seorang pelaut kalau menilik dari lagu yang kerap saya nyanyikan ketika saya masih kecil.

Nenek moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudra
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa

Angin bertiup layar terkembang
Ombak berdebur di tepi pantai
Pemuda b’rani bangkit sekarang
Ke laut kita beramai-ramai

                                                                 Sumber lirik: liriklaguanak.com

Ketika itu saya percaya bahwa nenek moyang saya adalah seorang pelaut seperti pada lirik tersebut. Hal itu juga diperkuat dengan fakta bahwa Indonesia merupakan sebuah negara maritim. Perahu merupakan cara satu satunya untuk bisa pergi menuju pulau lain kala itu. Tapi apakah benar nenek moyang saya seorang pelaut? Untuk mendapatkan jawabannya maka saya mengunjungi Museum Purbakala Sangiran yang terletak sekitar 30 menit dari pusat Kota Solo.

Kepala buaya purba

Museum ini menyimpan banyak peninggala pada jaman purba. Selain fosil manusia purba, fosil binatang purba juga dipamerkan di museum ini. Saya terkesan dengan tulang belulang Mamoth atau gajah purba yang diperlihatkan. Ukurannya yang besar membuat saya berandai andai sebesar apa Mamoth kalau saat ini masih ada. Mungkin saja Mamoth bakal menjadi binatang terbesar di bumi. Ada juga sebuah tulang kepala dari seekor lembu lengkap dengan tanduknya. Dari tulang itu para peneliti memperkirakan bahwa lembu tersebut berukuran hampir 3 meter tingginya. Jauh lebih besar daripada lembu yang ada saat ini. Ada juga tulang kepala dari buaya dan kuda nil yang tentu saja memiliki ukuran yang luar biasa besar.

Tulang kuda nil purba

Melihat ukuran tulang belulang yang besar tersebut saya tak bisa membayangkan bagaimana bisa orang orang purba selamat saat menghadapi binatang binatang tersebut saat masih hidup. Coba saja bayangkan rasanya berhadapan dengan buaya sepanjang 6 meter saat mengambil air di sungai. Atau bayangkan rasanya dikejar Mamoth yang besarnya hampir sama seperti truk tronton.

Di sudut lain, museum ini juga menghadirkan informasi tentang batuan. Bukan batuan akik seperti yang sedang booming saat ini, tapi batuan yang digunakan orang orang di masa purba sebagai alat berburu seperti kapak perimbas atau chopper. Ada juga batuan yang merupakan fosil dari kayu yang membatu karena sudah terpendam ribuan tahun di dalam tanah. Di situ saya menyadari bahwa tidak semua benda akan diurai, bahkan untuk kayu yang notabene bisa membusuk sekalipun. Aldo, mahasiswa Geologi dari UGM, menjelaskan kepada saya bahwa banyak hal yang mempengaruhi sebuah benda seperti kayu menjadi tidak bisa membusuk, malahan berubah menjadi batu. Hal yang sama juga terjadi pada fosil-fosil yang dipamerkan di museum ini.

Tekstite – Serpihan batuan angkasa yang meledak dan jatuh ke bumi.

Berbeda dengan museum-museum lain yang terkesan kuno, museum ini menghadirkan suasana modern. Di sudut-sudut museum terdapat layar sentuh elektronik yang berisi berbagai informasi yang berkaitan dengan makhluk purba. Di museum ini juga terdapat video yang memperlihatkan teori terbentuknya alam semesta. Teori yang terkenal adalah teori Big Bang yang dikemukakan oleh Georges Lemaître, seorang biarawan Katholik Roma Belgia. Menurut teori tersebut, alam semesta terbentuk dari sebuah ledakan besar dan akhirnya serpihan-serpihan dari ledakan tersebut berkumpul membentuk planet, bintang, meteor dan benda langit seperti yang kita ketahui sekarang. Selain itu, di sini juga terdapat sebuah batu kecil yang berasal dari luar angkasa. Batu tersebut berwarna hitam dan berbentuk agak oval dengan guratan garis-garis pada permukaannya. Batu itu mengingatkan saya dengan batu Hajar Aswat yang juga berwarna hitam dan tidak berasal dari bumi.

Evolusi manusia purba

Tak disangka ternyata sebagian besar benda yang dipamerkan di Museum Purbakala Sangiran berasal dari daerah Sangiran itu sendiri. Ternyata ribuan tahun lalu Sangiran merupakan salah satu tempat penting untuk membuka tabir misteri kehidupan jaman purbakala. Fosil Homo Erectus, manusia kera berjalan tegak, banyak ditemukan di Sangiran. Mereka disebut sebagai sang pengelana karena fosilnya banyak ditemukan di berbagai belahan dunia. Melihat fakta tersebut mungkin saja nenek moyang saya memang seorang pengelana. Tapi apakah juga seorang pelaut seperti dalam lagu anak-anak tersebut? Ah, bisa saja!