Kematian bukanlah akhir dari sebuah perjalanan hidup, tapi sebuah awal dari kehidupan lain. Beberapa agama seperti Islam, Buddha, dan Hindu. percaya bahwa kematian adalah saat di mana manusia menjalani sebuah kehidupan yang lebih kekal daripada yang mereka alami di dunia. Itulah sebabnya upacara kematian dilakukan dengan khidmat untuk mengantarkan jiwa orang yang meninggal ke alam akhirat.
Bade sebagai tempat jenazah berbaris rapi |
Ngaben adalah sebuah upacara penghormatan terakhir kepada jenazah orang yang meninggal. Jenazah tersebut dimasukkan ke dalam bade (tempat jenazah) yang nantinya akan diarak menuju tempat di mana ngaben dilaksanakan. Upacara ini sangat megah dan meriah. Karena kemegahannya itu lah Gde Aryanta Soethama di dalam bukunya ‘Jangan Mati di Bali’ mengatakan, “Bagi orang Bali, kematian bisa berarti lebih bermakna tinimbang hidup.” Orang Bali cenderung mengurus orang yang sudah mati melebihi mengurus orang yang masih hidup dan menerima pelayanan dari sanak saudaranya justru ketika mereka sudah mati. Bagi orang luar Bali, upacara adat seperti ini sungguh sangat menarik dan selalu menjadi tontonan turis manca maupun domestik.
Saya pernah mendapat kesempatan sekali untuk menyaksikan ngaben massal di Padang Tegal, Ubud, Bali. Ngaben massal dilakukan karena banyak dari keluarga jenazah tidak mampu untuk melakukan ngaben sendiri mengingat biaya untuk sekali upacara bisa sampai puluhan atau ratusan juta. Jenazah yang belum bisa diaben akan dikubur dulu sampai pihak keluarga bisa membuat upacara ngaben. Upacara penguburan jenazah ini disebut dengan upacara Makingsan ring Pertiwi yang artinya menitipkan di ibu pertiwi. Barulah ketika pihak keluarga sudah bisa melakukan ngaben, jenazah yang dikubur itu akan diambil kembali untuk dibakar. Ngaben akan tetap dilakukan walau yang tersisa dari jenazah hanya tulang belulangnya saja. Karena hanya dengan ngabenlah orang yang telah meninggal bisa moksa, atau bertemu dengan Tuhan.
Ngaben massal |
Puluhan bade dengan berbagai bentuk binatang yang berwarna warni berjajar rapi di lapangan Padang Tegal di dekat Monkey Forest Ubud. Bade-bade tersebut memiliki bentuk yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Bentuk bade yang mayoritas diambil dari bentuk hewan tersebut merupakan simbol dari keluarga yang juga menunjukkan status kasta. Ada yang bade berwarna merah yang mempunyai badan menyerupai singa tapi memiliki kepala seperti cakil dalam tokoh pewayangan dengan taring panjang yang runcing dan mempunyai sayap. Di tempat lain ada juga bade berwarna hijau dengan tubuh ikan tapi kepalanya seperti gajah yang lengkap dengan belalai dan gadingnya. Di dalam bade itu lah nantinya tulang belulang atau apa pun yang tersisa dari jenazah dimasukkan sebelum dibakar.
Satu-satunya bade berisi jenazah |
Proses pembakaran belum akan dimulai kalau sesaji dari keluarga belum diletakkan di sekitar bade dan pendeta belum membaca doa dan mantra untuk mengiring kepergian jenazah yang akan dibakar. Proses ini cukup lama karena banyaknya hal yang harus disiapkan mengingat ini adalah sebuah ngaben massal yang melibatkan banyak keluarga. Begitu semua siap, proses pembakaran langsung dilakukan secara bersamaan.
Bade berisi jenazah yang habis terbakar |
Saat melihat puluhan bade yang tidak terbakar habis tersebut saya lantas berpikir untuk apa nanti sisanya? Apakah hanya akan dibuang dan berakhir menjadi sampah seperti sesajen yang ditinggalkan di tepi jalan ketika selesai digunakan? Karena tentu saja bade yang tidak selesai dibakar tersebut tidak bisa dilarung di sungai atau laut.
Hello. remarkable job. I did not imagine this. This is a remarkable story. Thanks!