Telepon genggam saya bergetar sebagai tanda bahwa saya sudah sampai di lokasi tujuan. Saya menepikan motor di bawah jembatan lalu memandang sekeliling. Perasaan ragu mendadak menyergap. Jangan-jangan kali ini peta digital salah lagi seperti yang sudah-sudah, pikir saya. Lantas saya pun bertanya pada Sabda, adik sepupu yang membonceng di belakang tentang letak museum yang akan kami kunjungi. Dia hanya menunjuk ke satu arah tanpa berbicara.
Sebuah gerbang tegak berdiri dengan tulisan Museum Wasaka terpatri pada besi setengah lingkaran yang berada diantaranya. Pintu gerbang besi terbuka satu, tapi motor saya tak bisa masuk karena jalannya berundak. Saya mencoba mencari jalan memutar ke arah bawah Jembatan 17 Mei atau Jembatan Banua Anyar. Tiba-tiba seseorang mengarahkan saya untuk memarkir motor di tempat yang dia tunjukkan. Saya sedikit was-was karena dia tidak mengenakan baju oranye tukang parkir dan tidak ada tanda parkir. Sama halnya saya tak menerima karcis parkir darinya. Tapi saya mencoba percaya saja padanya.
Matahari sedang terik, sehingga saya mempercepat langkah menuju sebuah rumah panggung yang berada di seberang saya. Seluruh bangunan rumah tersebut terbuat dari kayu. Tidak tampak secuilpun semen menempel padanya. Warna cat gelap mendominasi seluruh bagian rumah tersebut. Bagian tengah atapnya membumbung tinggi ke atas. Di atap bagian depan tertera tulisan ‘Waja Sampai Kaputing’, artinya sebuah perjuangan yang harus diselesaikan hingga tuntas. Inilah bentuk asli dari rumah tradisional Banjarmasin, Rumah Bumbungan.
Sabda melihat-lihat berbagai senjata api dan senjata tradisional yang dulu pernah dipakai saat mengusir penjajah di tanah Banjar. |
Semenjak tertarik dengan hal-hal yang berbau budaya, museum selalu berada di dalam daftar kunjungan jika sedang berkunjung suatu daerah dengan waktu yang agak lama. Museum menjadi salah satu tempat, selain pasar tradisional, untuk saya mengenal budaya masyarakat daerah tersebut. Lewat benda-benda yang dipajang di museum, saya mencoba menerka bagaimana keadaan di masa lalu. Selain itu, museum selalu membuat saya bisa meluaskan imaji menembus masa.
Langkah kami berhenti di depan pintu masuk museum yang menghadap Sungai Martapura yang tampak seperti aliran susu coklat. Penjaga museum yang sedang santai di teras rumah tampak terkejut dengan kedatangan kami. Ia bergegas mematikan rokok yang belum habis dihisapnya. Dengan ramah ia menyapa dan mempersilakan kami masuk. Kami melepas sepatu sebelum masuk ke dalam museum. Tak ada loket atau pun karcis yang harus kami tebus. Penjaga di ruang tamu hanya meminta kami menuliskan nama dan alamat di buku tamu, serta kesan yang akan diisi ketika kami akan meninggalkan museum ini. Dari buku tamu tahulah saya alasan penjaga museum santai sekali. Ternyata kami adalah pengunjung pertama di hari itu.
Dua puluh lima tahun sudah Museum Wasaka berdiri sejak diresmikan tanggal 10 November 1991. Awalnya ini adalah rumah hunian sebelum akhirnya pemerintah daerah setempat mengubahnya menjadi sebuah museum perjuangan. Museum Waja Sampai Kaputing atau yang disingkat Wasaka baru menampilkan satu babakan dari lima babakan perjuangan yang direncanakan, yaitu yang menyangkut revolusi fisik di daerah Kalimantan Selatan.
Museum ini buka setiap hari mulai pukul 9 pagi hingga siang atau sore, kecuali hari Senin dan hari libur nasional. Di dalamnya terdapat tiga ruang: ruang depan, tengah dan belakang. Ruang depan berisi informasi umum tentang pulau Kalimantan dan pemerintahan tiap provinsi. Deretan foto gubernur Kalimantan Selatan menghiasi dinding ruang ini. Ada juga satu set kursi rotan dan meja yang terbuat dari marmer.
Berbagai benda kuno dipamerkan di Museum Wasaka Banjarmasin. Di pojok kanan terdapat sebuah kitab Al-Quran kecil. Sedangkan di pojok kanan bawah terdapat sebuah keris yang berbentuk semar. |
Sebuah diorama dibuat agar para pengunjung bisa sedikit membayangkan bagaimana kerasnya para pejuang Indonesia. |
Sebuah kaos dalam penuh dengan tulisan rajah beraksara arab menarik perhatian saya. “Rajah tersebut berguna sebagai semacam jimat pelindung,” tutur penjaga museum. Jawabannya menguatkan dugaan saya sebelumnya. Jimat pelindung memang sudah menjadi semacam budaya di berbagai daerah, termasuk Banjarmasin. Bentuk jimat berbeda-beda tergantung daerah dan kepercayaan yang dianutnya. Mayoritas masyarakat Kalimantan Selatan beragama Islam. Itulah mengapa jimatnya pun menggunakan rajah beraksara arab.
Berpindah ke ruang belakang yang berada di ujung, Sabda dikagetkan dengan sebuah patung pandai besi yang sedang bekerja di tungkunya. Lampu berwarna merah ditempatkan untuk memberi kesan nyala api di tungkunya. Ruangan ini kecil dan lebih gelap dibanding dua ruangan lainnya. Di ruangan ini dipajang beberapa mortir dan pelontar granat yang dibuat manual dengan ukuran yang berbeda.