Kepala saya mendongak ke atas dan mata saya menyempit untuk menghalau sinar matahari yang cukup terik ke arah sebuah bangunan menjulang berdiri di depan saya. Bangunan itu terlihat unik dan tak biasa. Sebuah pagoda dengan kombinasi warna merah dan hijau untuk atapnya, dan krem untuk dindingnya. Di setiap tingkat pagoda itu terlihat patung Buddha kecil berwarna kuning. Pagoda tersebut sejenak mengingatkan saya dengan cerita dari tanah Tiongkok, Sun Go Kong. Nyatanya saya tidak sedang di Tiongkok, tapi di Vihara Pagoda Avalokitesvara Buddhagaya Watugong, Semarang.
Sebuah patung setinggi 2 meter menyambut kami di ujung tangga menuju pagoda. Patung berbentuk Dewi Kwan Im dengan posisinya yang sedang berdiri di atas sebuah bunga lotus tampak anggun. Ukirannya sangat detail. Tak jauh dari patung Kwan Im terdapat sebuah patung Buddha yang bersila di bawah sebuah pohon. Berbeda dengan patung Kwan Im yang berwarna abu-abu karena terbuat dari batu, patung Buddha bersila ini tampak berkilau seperti patung Buddha pada umumnya. Pohon besar yang menaunginnya membuat suasana yang semula panas menjadi lebih sejuk. Di rantingnya banyak hiasan kertas berwarna merah dengan tulisan mandarin digantung menjuntai. Saya ingin tahu apa artinya, namun sayang tidak ada seorang pun yang bisa saya tanya.
Patung Dewi Kwan Im |
Saya mencium aroma khas yang biasa terdapat pada bangunan bergaya Tiongkok, aroma dupa. Aroma dupa itu berasal dari dupa yang diletakkan di depan patung Buddha di bawah pohon dan sebuah bejana besar berwarna abu-abu yang terbuat dari batu di tangga tingkat ke dua. Di dalamnya terdapat tiga buah dupa besar yang tertancap kaku. Dari dupa yang terbakar itulah aroma dupa menyebar. Lagi-lagi terdapat pita merah yang diikatkan pada tiang bejana tersebut. Hiasan naga juga turut mempercantik bejana tersebut. Naga adalah simbol yang selalu digunakan dalam budaya Tiongkok. Mereka percaya simbol ular naga tersebut membawa berkah. Ukiran ular naga juga terlihat di tengah tangga menuju pagoda. Tak hanya ular naga, ada juga ukiran singa berkepala naga, burung merak dan bunga teratai. Ukirannya juga sangat detail seperti patung Kwan Im.
Patung Buddha duduk bersila |
Ketika sampai di bagian pagoda, saya mendapati dua daun pintu besar yang terbuat dari kayu terbuka memperlihatkan bagian dalamnya. Saya melongok untuk bisa melihat apa yang ada di dalamnya. Awalnya saya mengira akan ada beberapa lantai di dalam pagoda karena dari luar tampak terlihat beberapa atap seperti pada bangunan berlantai banyak. Ternyata tidak. Di dalam pagoda ini saya melihat sebuah patung besar bertuliskan Kwan Sie Im Po Sat dan memiliki tinggi kurang lebih 3 meter. Patung itu terbuat dari tembaga sehingga tidak perlu kuatir kalau berkarat. Kain berwarna magenta menyala digunakan untuk menyelimuti patung besar tersebut. Patung dewa dewi yang lebih kecil mengelilingi patung Buddha yang besar. Di depannya berjajar aneka macam persembahan yang dibawa oleh mereka yang berdoa. Persembahan tidak harus berupa buah-buahan. Bahkan minyak goreng dan air mineral pun bisa dijadikan persembahan untuk sang Buddha.
Kwan Sie Im Po |
Di sisi bagian luar pagoda terdapat 4 patung dewa-dewi. Tiga di antaranya merupakan dewi dan hanya ada satu dewa. Salah satunya bahkan digambarkan menggendong seorang bayi di salah satu tangannya. Tempat ini cukup teduh dan sejuk karena banyak pepohonan besar yang sengaja ditanam di sekitar pagoda ini. Kursi-kursi juga disiapkan berjajar agar para pendatang yang ingin bersembahyang atau hanya sekedar melihat-melihat bisa istirahat sejenak sambil merasakan suasana sejuk di area pagoda. Bahkan tak jauh dari pagoda saya melihat beberapa orang yang sedang asik tiduran di sebuah pendopo kecil.
Ukiran singa berkepala naga dan burung merak |
Saya bertemu dengan Pak Santoso, seorang pria setengah baya yang sudah menjaga tempat ini sejak Pagoda Avalokitesvara Semarang ini selesai dididirikan tahun 2006. Dari dia lah saya mengetahui bahwa pagoda ini adalah sumbangan dari seorang pengusaha bernama Po Soen Kok. Poe Soen Kok adalah seorang pengusaha yang sukses. Usahanya tersebar di beberapa negara termasuk Singapura, China dan Hongkong. Bahkan Mall Paragon di Semarang adalah miliknya, tapi manajemennya diserahkan kepada salah seorang anaknya. Maka tak heran kalau dia bisa mensponsori pembangunan pagoda ini sendiri. Pembangunan pagoda ini sendiri menelan biaya kurang lebih 5 milyar dan hanya dibangun dalam kurun waktu 1 tahun. Pak Santoso juga menambahkan kalau hampir semua material yang digunakan untuk membangun pagoda ini merupakan produk import.
Ukiran ular naga |
Selesai menceritakan tentang pembangunan pagoda, Pak Santoso lalu berkotbah panjang lebar mengenai darma, ajaran Buddha hingga politik. Saya cuma bisa tersenyum mendengarkan sambil sesekali mengerlingkan dahi saat dia dengan tiba-tiba mengubah topik padahal cerita sebelumnya belum selesai. Saat saya kira sudah selesai, dia meminta untuk menunjukkan telapak tangan saya. Sepertinya dia ingin membaca peruntungan saya. Dia meneliti garis tangan saya dengan seksama. Dari garis tangan tersebut dia menjelaskan tentang karir, jodoh dan beberapa sifat dasar saya, seperti kemandirian dan kemauan yang keras. Dia mengatakan bahwa nanti di umur 30 ke atas saya akan seperti orang gila dalam bekerja, maksudnya semangat saya akan meluap-luap. Itu memang biasa terjadi pada anak muda, tambahnya. Dia juga memperingatkan saya untuk senantiasa menjaga kesehatan karena kondisi badan saya tidak begitu bagus. Kemudian dia melihat tangan saya lagi dan menjelaskan kalau jari kelingking saya tidak sejajar dengan garis di bawah kuku jari manis saya. Dia menyarankan saya untuk memanjangkan kuku di jari kelingking hingga melebihi garis yang dia maksud. Saat saya tanya alasannya dia malah bercerita tentang hal lain dan meninggalkan saya dalam tanda tanya. Lalu dia menawarkan saya untuk melihat peruntungan dengan ramalan kayu seperti yang biasa saya lihat di film-film mandarin, tapi saya menolak dengan alasan nanti tidak ada surprise lagi dalam hidup saya. 🙂
Bangunan di sebelah pagoda yang biasa digunakan untuk bersembahyang dan bermeditasi |