Memburu Sang Fajar di Gunung Andong

Hanya seminggu berselang, saya sudah menapaki gunung yang sama lagi, Gunung Andong. Ini adalah rekor tercepat saya. Sebelumnya saya membutuhkan waktu berbulan-bulan sebelum akhirnya memutuskan untuk mendaki gunung yang sama. Gunung Merbabu misalnya, tahun ini saja saya baru mendakinya sekali dan belum ada keinginan untuk mendakinya lagi di beberapa waktu ke depan. Bukannya saya tak ingin, tapi penyakit kambuhan saya kalau terkena udara dingin membuat saya mengurungkan niat untuk mendaki Gunung Merbabu lagi. Sementara Gunung Andong yang lebih pendek menghindarkan saya dari penyakit kambuhan tersebut karena memang tidak terlalu dingin di sini. Itu juga lah alasan saya mau mendakinya lagi walau walau hanya terpaut satu minggu.

Kalau tujuan sebelumnya hanya ngopi di puncak Andong, kali ini adalah mengejar sunrise di Andong sambil ngopi. Ngopi adalah hal wajib untuk setiap pendakian. Rasanya seperti ada yang kurang saat tidak menikmati segelas kopi hitam di dalam perjalanan.

Sunrise terlihat pada pukul 05.40 WIB. Kami yakin masih bisa mengejarnya walau berangkat sebelum subuh dari Salatiga. Berbekal pengalaman sebelumnya di mana hanya dibutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk menaklukkan Andong, kami berangkat jam setengah empat pagi dari Salatiga menuju Base Camp Sawit di Ngablak, Kabupaten Magelang. Jalanan yang sepi membuat kami sampai lebih cepat di base camp. Jam empat pagi kami sampai di Base Camp Sawit. Kami dikejutkan dengan deretan sepeda motor di sekitar base camp. Kira-kira adalah sekitar seratus sepeda motor yang diparkir di situ. Kami membayangkan pasti di atas sudah ramai sekali. Bisa jadi tak kalah ramai dengan pasar pagi. Duh!

Baru sekitar satu tahun terakhir ini Gunung Andong mendadak tenar dan menjadi favorit bagi para pendaki. Gunung Andong jua lah yang menggeser image mendaki gunung yang biasanya identik dengan perjalanan yang berat, menjadi sebuah petualangan yang menantang dan fun. Siapa saja bisa menapakkan kaki di puncak gunung. Bahkan para pendaki pemula sekali pun. Walaupun hanya memiliki tinggi 1726 mdpl, kita sudah bisa melihat sunrise yang ciamik dari puncak Andong. Plus, hanya dibutuhkan waktu sekitar satu jam untuk sampai di puncak. Tidak lama bukan? 

Pendakian saya kali ini lebih ramai dari pendakian sebelumnya, delapan orang. Empat orang lainnya adalah teman dari teman saya. Dan saya lah yang paling muda di antara mereka. Jarang-jarang saya merasa paling muda. Biasanya juga sudah dianggap tua. hehehe… Yang mengejutkan, salah satu dari teman baru bernama sama dengan saya. What a coincidence!

Beberapa teman terlihat kaget dengan jalan terjal yang ditemui dari awal pendakian. Beberapa kali kami berhenti untuk mengatur nafas karena selain jalan terjal, udara dingin dan oksigen yang tipis membuat nafas kami tersengal-sengal. Saya tak ubahnya seperti seorang motivator di sini. Sepanjang jalan menyemangati teman-teman yang merasa kelelahan dan meminta untuk berhenti di jalan. Keterbatasan pandangan juga sedikit memperlambat perjalanan kami. Tidak semua dari kami membawa senter. Alhasil beberapa memanfaatkan senter dari hp. Cahayanya memang tidak semaksimal senter pada umumnya, tapi lebih baik daripada tidak ada sama sekali.

Gunung Ungaran berbalut warna kekuning-kuningan di kejauhan

Pagi itu cuaca sangat cerah. Bintang bertaburan di angkasa seperti butiran pasir putih yang jatuh di atas kue cokelat. Pemandangan indah yang tidak pernah bisa dilihat di kota, kecuali saat mati lampu. Tak henti-hentinya saya mengagumi keindahan ini. Tak hanya pemandangan bintang di langit yang memukau. Gemerlap lampu dari desa di kaki gunung dan lampu kota di kejauhan tampak bagai embun pagi yang terkena sinar mentari, berkilauan. Suasananya begitu syahdu. Ingin saya berdiam lebih lama untuk meresapi atmosfer yang ada tapi apa daya waktu kami semakin sempit untuk mengejar sang fajar yang menyembul dari batas cakrawala.

Pukul 05.25 WIB kami sampai di puncak Gunung Andong. Bintang-bintang perlahan berlari menghilang. Secara tiba-tiba sembunyi entah ke mana. Seolah mereka takut dengan kehadiran sang fajar. Beberapa teman saya bersyukur bisa menjejakkan kaki di puncak sebelum mentari menampakkan sinarnya. Mereka sebelumnya pesimis bisa mengejar sunrise karena sering berhenti dan mengeluh tidak kuat untuk melanjutkan perjalanan. Beruntung motivasi dari teman-teman bisa menyalakan semangat mereka untuk menaklukkan Gunung Andong.

Gunung Sindoro – Sumbing dengan latar berwarna kuning

Tiba di puncak kami dikejutkan oleh lautan manusia yang berjejal untuk menyaksikan sang fajar dari batas cakrawala. Ratusan orang dan puluhan tenda menyesakki setiap ruang puncak Andong. Puncak Andong pagi itu tak ubahnya seperti pasar pagi yang ramai oleh penjual dan pembeli. Mungkin karena hari itu adalah hari Minggu, jadi banyak orang yang menyempatkan diri untuk kemping di Andong. Kalau saja saya menjajakan mie instan, kopi, atau teh hangat pasti akan laku keras. Ini bisa jadi peluang bisnis yang menguntungkan untuk beberapa bulan ke depan mengingat Andong masih tenar seperti idol yang baru saja menang kontes franchise.

Kami menunggu sang fajar dengan setia walau tubuh menggigil terkena tiupan angin pagi. Beberapa teman memilih untuk mengambil foto untuk menyibukkan diri. Saya lebih memilih untuk mencari makanan kecil yang bisa saya santap. Dingin dan tubuh yang lelah karena kurang tidur selalu membuat perut saya keroncongan. Porsi makan saya bisa meningkat beberapa kali lipat daripada biasanya. Mulut tak pernah berhenti mengunyah dan perut laksana lubang tak berdasar, tak pernah merasa kenyang. Pun begitu, untungnya perut saya tidak buncit. 🙂

Gunung Telomoyo

Warna kemerahan di ufuk timur semakin menyala. Itu adalah sebuah pertanda. Pertanda sang fajar mengintip dari balik cakrawala seperti seorang penyanyi yang mengintai penonton dari balik tirai. Melihat seberapa banyak kami dan apakah kami siap dengan kemunculannya. Semua orang yang sedari tadi menunggu sudah beberapa kali mengabadikan gambar dengan hp dan kamera yang mereka bawa dan siapkan untuk momen spesial ini. Gunung Merbabu yang angkuh berdiri di depan bak bodyguard mengawal kemunculan sang idola kami, mentari pagi. Pemandangan yang sangat menakjubkan.

Kemunculan mentari berlangsung sangat singkat. Pun begitu cukup memuaskan dahaga dan kelelahan kami saat menapaki jalan setapak yang terjal menantang. Beberapa orang mulai mengemasi barang dan tenda dan bermaksud untuk turun gunung. Tapi bagi kami, petualangan belum berakhir sebelum kopi diseduh dan bekal habis berpindah ke dalam perut. Dengan cekatan teman saya, Ucil, mengeluarkan peralatan memasak dan beberapa menit kemudian kami sudah mendapati kopi hangat siap untuk diseduh. Selanjutnya kami memasak mie instan untuk mengisi perut yang sudah keroncongan. Saat sedang memasak, ada orang baik yang menawari kami sayuran sebagai tambahan untuk mie instan. Tanpa sungkan kami pun menerima tawarannya. Mubazir kalau menolak berkah. Hehe.. 😀

The Great Wall of Andong Mountain

Terlalu lama di puncak hanya akan membuat kami dipanggang sang mentari yang sudah mulai meninggi. Sengatan sinarnya tak selembut saat dia bangun dari tidurnya. Akhirnya pukul setengah sembilan kami memutuskan untuk turun gunung melewati jalan yang lain. Kami harus berjalan ke puncak Alap-Alap, puncak ke dua dari Gunung Andong ini untuk turun melewati jalan satunya, seperti yang saya lakukan minggu sebelumnya. Sepanjang perjalanan turun, saya terkejut ketika berpapasan dengan anak-anak kecil yang berumur mulai dari enam hingga dua belas tahun mendaki ke puncak. Anak-anak itu berasal dari desa di bawah kaki Gunung Andong, jadi mereka sudah terbiasa mendaki gunung ini. Atau bisa dikatakan Gunung Andong ini adalah playground mereka. Mereka juga tidak membawa perbekalan seperti kami. Entah karena sudah terbiasa atau karena tidak terpikirkan untuk membawa. 

Gunung Merbabu dan Gunung Merapi

Bermaksud ingin cepat sampai di base camp, saya dan empat teman meluncur turun mendahului empat rekan saya yang lain. Dengan percaya diri dan berbekal ingatan dari pengalaman sebelumnya, saya memandu teman-teman menuruni gunung. Tapi mungkin keberuntungan saya sudah habis, kami tiba di base camp yang salah. Bukannya Base Camp Sawit yang kami datangi, tapi malah Base Camp Gogik. Base Camp Gogik terletak sekitar 1 km dari Base Camp Sawit. Setelah bertanya dengan penduduk sekitar, kami mendapat pencerahan jalan mana yang kami harus ambil untuk kembali ke Base Camp Sawit. Alhasil kami berempat harus berjalan lebih jauh dari seharusnya. Tak pelak teman-teman yang saya tinggal tertawa terbahak-bahak saat mendengar kami nyasar dalam perjalanan kembali ke base camp. Yah, kalau tidak tersesat, petualangan tidak seru bukan? :p

Pencari rumput yang perkasa

Ada satu hal yang saya sayangkan dari pendakian ini, sampah. Di pendakian saya sebelumnya saya cukup senang melihat puncak Andong yang masih tergolong bersih. Sayangnya pagi itu tidak. Banjir lautan manusia di puncak berbanding lurus dengan jumlah sampah yang berserakan. Banyak dari para pendaki masih dengan santai dan berlagak tanpa dosa meninggalkan sampah mereka. Banyak dari mereka masih malas untuk sekedar membawa turun sampah mereka. Come on, guys. It’s not a city wherever you throw your garbage away there will be a street sweeper who cleans your garbage. Remember not to waste anything, but time.

Pendaki Cilik