“Berarti nilainya tujuh dong? Kan salah tiga.” Begitu kelakar yang sering diucapkan setiap orang yang mendengar nama kota di mana saya dibesarkan. Kelakar tersebut memang tidak salah karena kalau menilik sejarah, Sunan Kalijaga memberi nama Salatiga dikarenakan kesalahan tiga orang. Diceritakan bahwa tiga orang tersebut bersalah karena tidak mengikuti nasehat beliau.
Salatiga, kota yang tidak pernah mendapat nilai sempurna. Salatiga, salah tiga. Hanya dapat tujuh mereka bilang. Itu kalau jumlah soal ada sepuluh. Tujuh itu nilai yang cukup. Tidak terlalu bagus memang, tapi cukup untuk membuat kita tersenyum. Salatiga, salah tiga.
Nama kota ini selalu mengingatkan saya bahwa tidak ada orang yang sempurna. Semua orang mempunyai kesalahan. Tiga? Tak perlu dihitung jumlah kesalahannya. Yang pasti jumlah kesalahan harus sedikit dan jumlah kebaikan harus lebih banyak. Tujuh? Tak harus lebih dari dua kali lipatnya. Ada baiknya kebaikan yang dilakukan harus berkali-kali lipat dari jumlah kesalahan.
Sewaktu saya masih sekolah, saya sudah cukup senang kalau mendapat nilai tujuh. Bagi saya waktu itu nilai tujuh adalah nilai yang aman. Tidak begitu jelek, tapi cukup bisa dibanggakan. Orang tua saya tidak akan marah kalau saya mendapat nilai minimal tujuh. Mereka hanya akan mengingatkan saya untuk lebih giat belajar supaya nilai saya bisa meningkat menjadi 9 atau sukur-sukur dapat 10.
Sebagai kota yang tak mendapat nilai sempurna, karena salah tiga, Kota Salatiga ternyata pernah mendapat sebutan ‘de Schoonste Stad van Middle Java‘ atau yang berarti kota terindah di Jawa Tengah (Supangkat, 2007). Gelar ini didapat pada masa Salatiga masih dibawah pemerintahan Belanda. Salatiga yang sejuk dan indah alamnya membuat orang-orang Belanda jaman dahulu betah tinggal di sini. Tentunya hal ini membanggakan sekaligus menyadarkan kita bahwa keindahan tak selalu harus sempurna.
Justru ketidaksempurnaan bisa menampilkan keindahan yang unik dari sudut pandang yang berbeda, seperti sebuah judul jurnal milik Stephanie Martel – ‘Perfectionism is Boring.’ Di dalam tulisannya, Martel mengatakan bahwa memusatkan tujuan pada kesempurnaan hanya akan melumpuhkan kita. Dia menambahkan bahwa saat kita ingin membuat sesuatu tampak sempurna, sebenarnya kita sedang berusaha memuaskan orang lain, bukan diri kita. Dengan menjadi sempurna, kita berharap untuk terlepas dari cemoohan orang lain, perasaan bersalah atau terluka terhadap orang lain.
Walau tak mendapatkan nilai sempurna, ternyata Kota Salatiga menjadi kota percontohan dalam hal kerukunan antar etnis dan umat beragama. Tak tanggung-tanggung, skalanya sudah nasional. Tidak percaya? Cek saja berita di Kompas. Hidung saya kembang kempis membaca berita tersebut. Saya bangga dengan ketidaksempurnaan Salatiga.
Salatiga itu kecil. Hanya butuh tidak lebih dari 60 menit untuk mengelilinginya. Namun dalam wilayahnya yang kecil, masyarakat Salatiga sangat heterogen. Salatiga dihuni oleh orang-orang dari berbagai etnis. Saya sendiri misalnya, campuran antara etnis Banjar dan Jawa. Keanekaragaman etnis di Salatiga menjadi sebuah keindahan yang perlu dijaga kerukunannya. Bahkan, Salatiga juga sempat mendapat julukan sebagai Indonesia mini.
Kota Salatigaku emang keren banget. Di jaman Belanda saja sudah dikagumi keindahan alamnya