
“Dulu ini adalah senjata paling ditakuti. Tau ga?” tanya Mbah Djumeri. Jari telunjuknya ditodongkan ke arah kami dengan wajah serius. “Tahun 65, jari telunjuk ini lebih ditakuti daripada senjata api,” lanjutnya. “Tinggal tunjuk saja, besok orang tersebut hilang. Ngeri.”
Djumeri, pria yang bulan depan berumur 85 ini bercerita serius tentang salah satu babak yang telah dilakoninya dalam hidupnya yang panjang. Saya bertemu dengannya di lantai bawah Pasar Raya II. Tepatnya di bagian para penjahit.
Selain tahun 65, ia juga bercerita tentang kerasnya cara untuk bertahan hidup di masa paceklik. Tahun gaplek sebutnya.

Gaplek adalah makanan olahan dengan singkong sebagai bahan utamanya. Singkong dikupas, dicuci bersih, dipotong kecil-kecil, dan terakhir dijemur hingga kering. Bayangkan saja bagaimana nelangsanya harus memakan gaplek setiap hari. Gizi tentu tak lagi menjadi pertanyaan karena bertahan hidup menjadi pertaruhan.

Kala itu ia sampai harus mengais gabah dari kotoran kuda yang tak sempurna dicerna. Semua dilakukan agar perutnya terisi dan menyambung hari.
“Ada anak muda bilang saya kuno, saya beri jempol. Waktu saya tanya dia orang apa? Jawabnya modern, saya kasih nol.”
“Tau apa itu “kuno”. Kuno itu artinya lakune ono (ada tirakat). Kalau orang sekarang itu ndak ada tirakatnya. Lapar dikit ngeluh,” ujarnya.
Mendengar cerita yang ia utarakan membuat hati saya menciut. Begitu banyak peristiwa berat yang dilaluinya dalam hidup. Namun, tak sedikitpun kecewa terpancar dari raut wajahnya. Sebaliknya justru semangat berkobar dengan riangnya.

Itulah sekelumit cerita yang saya temukan ketika memotret di basement Pasar Raya II, Salatiga. Kompleks penjahit ini kian hari kian sepi. Orang-orang sudah jarang sekali masuk ke sini. Tapi Mbah Djumeri tetap percaya pada Sang Pemberi Rejeki. Ia benar-benar kuno, lakune ono.
BACA JUGA: