Sebanyak 41% dari 312 anak-anak di Jogja menderita rabun jauh atau mata minus. Fakta ini adalah hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Prof. dr. Suhardjo SU Sp.M (K) pada anak-anak di daerah perkotaan, pinggiran kota, dan pedesaan.
“Ini huruf apa?” tanya Bu Ning sambil menunjuk huruf di Snellen chart yang ditempelkan di dinding. Dengan mata kanan ditutup, Arif mencoba memusatkan pandangannya. Dia berusaha mengenali huruf yang ditunjuk. Butuh waktu sedikit lebih lama untuk memastikan jawaban dan ketika sudah yakin, Arif menjawab “C” sambil malu-malu. Sang guru kelas lalu melanjutkan menunjuk huruf lain di Snellen chart yang semakin lama semakin kecil ukurannya.
Arif menyerah ketika harus mengenali huruf-huruf di bagian 6/9. Susah payah ia mencoba mengenali, tetapi tetap tak bisa jua. Ia hanya bisa mengucap berulang “nggak kelihatan” ketika gurunya menunjuk huruf abjad satu persatu. Relawan mencatat hasilnya dan screening tajam penglihatan dilanjutkan dengan murid berikutnya.
Arif adalah salah satu dari sekian banyak anak-anak di SD Kumpulrejo 1, 2, dan 3, Salatiga, yang terdeteksi mengalami rabun jauh atau miopi. Gangguan penglihatan ini semakin serius menjangkiti anak-anak sekolah terutama setelah pandemi melanda. Kondisi pandemi yang memaksa sekolah berganti daring telah membuat anak-anak menjadi lebih akrab dengan gawainya.
Dalam satu hari, anak-anak bisa menghabiskan waktu di depan layar komputer dan HP lebih dari 3 jam. Kegiatan ini memaksa mata untuk fokus pada jarak dekat dalam waktu yang lama. Karena dilakukan dengan intensitas yang tinggi, pada akhirnya otot mata kelelahan. Akibatnya, resiko gejala rabun jauh atau mata minus meningkat seiring dengan screen time mereka yang juga melonjak.
Karena itulah Sejuta Kacamata bersama dengan 9 relawan mahasiswa dari UKSW berkunjung ke SD Kumpulrejo 1, 2, dan 3, bermaksud melakukan screening tajam penglihatan pada murid untuk mengetahui jumlah penderita rabun jauh. Nantinya, anak-anak yang menderita gangguan mata akan mendapatkan kacamata minus gratis.
Selain itu, dr. Eny, salah satu tim relawan Sejuta Kacamata, juga menegaskan kalau kegiatan ini dimaksudkan untuk menekan ledakan rabun jauh (Myopia Booming) yang diprediksi akan terjadi pada tahun 2050 nanti.
Ledakan Rabun Jauh (Myopia Booming)
Data dari World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa pada tahun 2010, sebanyak 28% atau sekitar 1893 juta jiwa dari seluruh penduduk dunia disinyalir mengalami gangguan mata minus. Asia Timur dan Asia Tenggara (China, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura) menjadi negara dengan penderita rabun jauh terbanyak. Kurang lebih 50% dari total penderita berasal dari negara-negara tersebut.
Data tersebut juga memperlihatkan peningkatan pesat yang terjadi setiap sepuluh tahun. Bahkan prediksi WHO di tahun 2050 menerangkan jika gangguan rabun jauh akan menjangkiti 52% penduduk dunia atau setara dengan 4.949 juta jiwa. Situasi inilah yang kemudian memicu sebuah kondisi yang disebut dengan ledakan rabun jauh atau Myopia Booming.
Sebagai gambaran, saat ini penderita rabun jauh atau mata minus pada anak-anak usia sekolah di Indonesia sudah mencapai 17,2%. Melihat bagaimana lengketnya masyarakat modern dengan gawai, saya khawatir jika angka penderita miopi akan melebihi prediksi.
Kurangnya aktivitas di luar rumah
Screen time yang tinggi memang menjadi penyebab seseorang mengalami gangguan penglihatan. Otot mata dipaksa untuk selalu fokus pada jarak yang sama dalam waktu yang lama.
Banyak orang tua merasa lebih aman dan senang melihat anaknya bermain di dalam rumah daripada di luar. Mereka tak perlu khawatir mendapati anak-anak pulang dengan tubuh kotor, seperti bermain tanah atau pasir, jika berada di dalam rumah. Terlebih lagi, orang tua akan lebih mudah mengawasi anak-anak jika mereka ada di dalam rumah.
Sayangnya, terlalu banyak menghabiskan waktu di dalam rumah tidak bagus untuk kesehatan mata anak-anak. Berada di dalam ruangan dalam jangka waktu yang lama terbukti bisa membuat anak-anak menderita gangguan rabun jauh atau mata minus.
Kok bisa? Hal ini dikarenakan ketika berada di dalam ruangan, pandangan kita akan terbatas. Objek yang terlihat oleh mata mempunyai jarak yang cukup dekat dan masih berada dalam jangkauan. Contohnya, jika kita berada di sebuah kamar 3×3 meter, maka jarak terjauh yang bisa kita lihat hanya sekitar 3 meter saja. Alhasil, otot mata kita menjadi kaku dan tidak bisa melihat objek jauh.
Hal ini tentu berbeda jika kita berada di alam terbuka. Mata kita bisa melihat berbagai objek dengan jarak yang beragam. Dengan begitu, otot mata kita akan berolahraga mengendur dan mengencang ketika kita memandang objek dengan jarak yang berbeda-beda. Terlebih, jarak terjauh yang bisa dilihat ketika kita berada di alam terbuka adalah garis horison.
Oleh karena itu, memperbanyak waktu di alam terbuka selama 2 jam/hari sangat dianjurkan karena bisa mengurangi potensi rabun jauh hingga 50%. Dengan ini kita juga turut serta menekan ledakan rabun jauh atau Myopia Booming.
Jadi, main ke mana kita?
BACA JUGA:
Ini bisa jadi topik riset kesehatan di Salatiga.
Wahaha. Cobain aja, Mas.
Main menikmati indahnya alam om
Apalagi ditemanin orang terkasih. Akan sangat menarik pastinya
Sangat menarik itu. hehe