“Dinten niki mboten jawah,” ujar Mbah Jimin mantap menjawab pertanyaan saya tentang cuaca hari ini. Dengan nada bercanda, saya pun menyebutnya dewa hujan lokal. Dan benar saja, sampai hari berganti, hujan tidak merambah rumah saya.
Sabtu (19/02/2022) pagi ini, saya bersama Mas Rio bertemu dengan Mbah Jimin secara kebetulan. Ia sedang duduk terpekur seorang diri di pinggir jalan yang membagi hamparan sawah hijau menjadi dua. Di depannya terparkir sebuah gerobak kayu beroda dua yang berisi semua harta benda miliknya. Di gerobak itulah ia menyimpan semua perlengkapannya. Mulai dari banner alas tidur, selimut, jaket, panci, teko, hingga gergaji.
Dalam diamnya, Mbah Jimin memandang langit keemasan di sebelah timur sama seperti kami. Bedanya, kami sumringah melihat pertanda matahari akan muncul, sedangkan raut mukanya terlihat lesu. Ia menoleh dan menatap saya ketika saya mengarahkan kamera padanya. Setelah itu, saya pun menghampirinya.
Mbah Jimin sudah menghabiskan sekitar dua dekade terakhir dari usianya untuk tinggal di jalanan. Setiap hari ia tidur di dalam pos ronda di Pasar Wates beralaskan lembaran banner bekas. Saat terbangun, dia biasanya akan berjalan-jalan sambil mendorong gerobak miliknya. Tak ada tujuan pasti. Namun, saya menduga ia tak akan berjalan jauh dengan tubuh ringkihnya yang mulai bungkuk.
Tak hanya tubuhnya, pendengaran Mbah Jimin sepertinya juga mulai menurun. Ketika saya bertanya berapa umurnya, dia malah menjawab punya dua anak. Pertanyaan yang sama saya ulang hingga dua kali, tapi jawabnya tetap sama. Baru di percobaan ketiga ia tahu apa yang saya tanyakan, tapi tak ada jawaban. Hanya raut mukanya berubah sedikit murung.
Kenyataan bahwa Mbah Jimin mempunyai dua orang anak cukup membuat saya terhenyak. Namun, saya tak berani bertanya lebih lanjut ketika melihat raut wajahnya. Pandangan matanya yang sendu seolah memberitahu ada kesedihan di sana. Bibirnya mengatup dengan kuat seperti menahan kata-kata yang berdesakan untuk meluncur keluar. Air muka yang sama juga terpancar ketika ia menyampaikan kalau istrinya sudah lama berpulang.
Hidup di jalanan dengan usia renta tentu bukan perkara ringan. Bayangkan saja setiap hari harus berpindah tempat sambil membawa banyak barang, mencari uang – baik dari bekerja atau mengais belas kasihan, dan mencari makanan untuk mengganjal perut yang kadang tak bisa dikompromi. Belum lagi ketika sakit melanda seperti Mbah Jimin yang kaki kanannya membengkak.
Meningkatnya jumlah lansia
Menurut Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, jumlah penduduk lanjut usia (lansia) bertambah setiap tahunnya. Diperkirakan ketika Indonesia berumur 100 tahun nanti (di tahun 2045), persentase lansia akan menjadi 19,8%, meningkat 2x lipat lebih dari tahun 2015 yang hanya 9%.
Meningkatnya jumlah lansia di Indonesia sejalan dengan meningkatnya umur harapan hidup. Dari 72,51 pada tahun 2015, dan naik menjadi 75,47 tahun pada 2045. Tentu saja ini adalah kabar gembira. Prediksi peningkatan umur ini secara tidak langsung menunjukkan sistem kesehatan sekarang sudah lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.
Alasan kedua adalah rendahnya angka fertilitas pada kaum muda. Kondisi ini tak lepas dari tingginya biaya ekonomi, sedikitnya lapangan pekerjaan, naiknya angka pengangguran, dan keberhasilan program Keluarga Berencana (KB). Sehingga banyak kaum muda saat ini cenderung menunda pernikahan atau pun memiliki (banyak) keturunan.
Melihat jumlah lansia pada tahun 2045 nanti, bonus demografi di Indonesia saat ini bisa saja menjadi buah simalakama. Pada tahun itu, para generasi milenial akan memasuki usia senja dan usia yang mungkin tidak lagi produktif. Lebih jauh, The Conversation mengatakan bahwa 1 dari 5 orang Indonesia akan berusia lanjut.
Kondisi ini tentu cukup menghawatirkan karena sebagian besar dari mereka hanya akan bergantung pada keluarga dan bantuan dari pemerintah. Di tengah korupsi yang masif, kita tidak bisa terlalu yakin negara akan selalu hadir memberi bantuan sosial secara adil. Masalah lainnya adalah berapa banyak keluarga yang mampu untuk menghidupi orang tua yang memasuki usia senja?
Tidak dipungkiri akan banyak lansia yang terlantar di jalanan seperti Mbah Jimin ketika keluarga atau negara tak mampu lagi merawat mereka. Pada tahun 2017 saja sebanyak 2,1 juta lansia terlantar dan 1,8 juta lainnya punya potensi terlantar. Jumlah yang masif untuk negara Indonesia yang konon katanya alamnya kaya dan indah seperti surga.
Bagaimana pun menjadi lansia adalah pasti. Yang paling berat bukan hanya terlantar secara fisik, tapi juga terasing secara mental. Jadi, sudahkah ngobrol dengan orang tua hari ini?
Bacaan Berikutnya: