Sendang Gambir: Telompak dan Nyai Gadung Mlathi

Telompak
Telompak yang pernah hanyut karena banjir bandang dan kembali sendiri. (Foto: Dok.Pri.)

“Dulu telompak yang di dalam itu pernah hanyut karena banjir bandang, Mas. Terus warga sekitar berusaha mencari dan akhirnya ketemu,” ucap seorang bapak setengah baya yang saya temui.

“Tapi pas mau diangkat buat dikembalikan, ga ada yang kuat ngangkat, Mas. Tapi tiba-tiba besoknya sudah kembali sendiri ke tempat asalnya,” tambahnya.

Di depan saya tergolek sebuah batu persegi panjang mirip lesung dengan cekungan di tengahnya. Lumut tebal mengelilingi permukaan batu. Air hujan menggenangi cekungannya, tapi tidak sampai penuh. Sebuah batok kelapa tertelungkup di salah satu ujung batu. Saya menduga batok tersebut digunakan untuk mengambil air yang tertampung di dalamnya.

Orang sekitar menyebutnya telompak. Batu inilah yang dikabarkan pernah hanyut tadi.

Telompak
Telompak berbentuk bulat yang dulu biasa digunakan untuk mencuci baju. (Foto: Dok.Pri.)

Sebenarnya ada 2 telompak lain yang ada di Sendang Gambir. Dua lainnya berbentuk bulat dengan cekungan di tengahnya seperti donat. Menurut cerita, dua telompak bulat tersebut dulu sering digunakan warga sekitar untuk mencuci. Namun semenjak air PDAM mengaliri rumah-rumah warga, kini mereka tak lagi mencuci di sendang ini.

Dari tiga telompak tersebut, batu panjang mirip lesung ini terlihat lebih diistimewakan. Selain dari cerita unik yang dimiliki, letak telompak panjang ini juga agak tersembunyi dan tersendiri. Ia berada di area sudut sendang dengan dikelilingi tumpukan batu sungai setinggi kurang lebih satu meter sebagai temboknya.

Tidak jauh dari batu mirip lesung ini terdapat bekas dupa dan sesajen yang dibakar. Banyak warga yang masih menganggap sendang sebagai tempat keramat, jadi tak heran jika hal tersebut sering ditemui.

Biasanya orang datang ke sendang dengan berbagai maksud dan tujuan. Ada yang bertirakat, mencari pengasihan, hingga pesugihan. Dan untuk berinteraksi dengan penunggu sendang, mereka biasanya menggunakan sesajen mulai dari dupa, menyan, bunga, makanan hingga rokok.

Sendang Gambir
Sendang Gambir (Foto: Dok.Pri.)

Sendang Gambir

Sendang Gambir terletak di Desa Tetep Randuacir Salatiga. Sebuah sumur berada tepat di tengah area yang dipagari batuan. Lumut-lumut hijau tampak bersukacita hidup di atasnya. Suasana lembab dan dingin mendominasi. Akibat dari sinar matahari yang kepayahan menembus pohon-pohon tinggi yang meneduhi.

Suara gemericik air dari aliran sungai sesekali bertautan dengan desik daun yang tertiup angin. Rasa damai menjalar atas ketenangan yang ditawarkan. Mengaburkan perasaan wingit yang sempat terasa di awal.

Sendang Gambir memang cukup berbeda dengan sendang pada umumnya. Jika biasanya sebuah sendang memiliki kolam mata air yang berlimpah hingga bahkan bisa digunakan untuk berenang seperti Sendang Senjoyo, di sini hanya terdapat sebuah sumur di tengah. Airnya pun tidak banyak.

Malah pernah ada masa air sendang tidak keluar sama sekali. Padahal beberapa pohon besar memayungi hingga sinar matahari kepayahan menembusnya. Dan di sebelahnya ada sungai dengan air yang mengalir. Namun setelah ditancapkan empat bambu di tempat mata air berada, air kembali muncul hingga sekarang.

Sendang Gambir
Warga sekitar sesekali masih menggunakan air di Sendang Gambir untuk sekadar mencuci muka, tangan, dan kaki. (Foto: Dok.Pri.)

Nyai Gadung Mlathi

Sudah menjadi kepercayaan umum bahwa ada penunggu di setiap tempat yang dikeramatkan. Tak terkecuali di Sendang Gambir yang saya datangi ini. Menurut cerita dari orang sekitar, adalah wanita cantik bernama Nyai Gadung Mlathi yang menjadi penunggu Sendang Gambir ini. Dan karena itu, warga Desa Tetep Randuacir tidak pernah menggunakan benda-benda seperti iket, baju, atau kain yang bermotif gadung mlathi.

Uniknya salah satu penunggu Gunung Merapi juga memiliki nama yang sama, Nyai Gadung Mlathi. Ia bertugas menjaga tanaman dan binatang di area Gunung Merapi agar lingkungan senantiasa lestari. Saya tak tahu apakah ini hanya sebuah kebetulan atau ada kaitan diantara keduanya. Sayangnya tidak ada orang yang bisa menjawab pertanyaan saya.

Mata air adalah sumber kehidupan dan wajib dijaga kelestariannya. Begitu juga dengan Sendang Gambir ini. Walau sekarang warga sekitar sudah tidak lagi mengambil air di sendang ini untuk keperluan sehari-hari, mereka masih tetap menjaganya. Bahkan dua kali dalam setahun, mereka melakukan upacara merti desa, bulan Sapar dan sebelum puasa.

Sendang Gambir
Area telompak lonjong yang kini diberi pagar batu dan sering digunakan sebagai tempat untuk tirakat. (Foto: Dok.Pri.)

Upacara merti desa merupakan sebuah bentuk ucapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat yang sudah diberikan. Pada upacara tersebut, para warga bergotongroyong membersihkan kampung dan area sendang. Mereka juga menyediakan berbagai makanan dan jajanan pasar yang akan diarak dan diletakkan di area sendang sebagai bentuk persembahan.

Pertunjukan hiburan juga tak lupa diselenggarakan. Tari gambyong dan pergelaran reog riuh ramai dipentaskan untuk menghibur warga sekitar. Namun, semenjak pandemi hiburan tersebut tak lagi digelar karena dikhawatirkan akan menciptakan klaster penularan virus. Hanya pemberian sesaji dan bersih sendang yang masih rutin dilakukan. Tak heran tempat ini bersih dari sampah plastik.

Di sisi lain, adanya cerita Nyai Gadung Mlathi sebagai sosok penunggu Sendang Gambir menjadi sebuah kearifan lokal untuk menjaga kelestarian tempat ini. Orang-orang menjadi segan untuk merusak dan mengotori karena mereka lebih takut membuat penunggu marah daripada berpikir tentang kerusakan alam yang akan ditimbulkan.

Jadi, mengapa banyak tempat tetap dikotori dan dirusak walaupun ada tanda larangan terpampang jelas? Ya mungkin saja karena tidak ada penunggunya.

Video:

BACA JUGA: