Sudah menjadi rahasia umum jika Indonesia menempati peringkat kedua di dunia dalam memproduksi sampah plastik. Peringkat pertama masih dipegang oleh negara Cina. Sedangkan peringkat ketiga adalah negara tetangga, Filipina. Dalam satu tahun, rata-rata negara maritim ini menghasilkan 3,22 juta ton sampah.
Dari total sampah tersebut, hanya 10% yang bisa terdaur ulang. Selebihnya teronggok di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) dan mencemari lautan di Indonesia yang mengancam kehidupan biota laut.
Baca juga:
- Belajar Peduli Alam Bersama SIBAT dan Naruto
- 15 Homestay Murah di Jogja (Di bawah 600ribu)
- Teratai Raksasa di Gugusan Pegunungan Menoreh
Tentu kita sudah mendengar bahwa beberapa bulan terakhir terdapat kampanye yang menyuarakan tentang bahaya sampah plastik terhadap satwa. Salah satu berita yang paling akhir adalah seekor paus yang mati di pinggir pantai dengan perut penuh sampah plastik.
Bagi satwa, plastik bisa terlihat seperti makanan. Penyu kerap mengira plastik yang mengapung di laut sebagai ubur-ubur yang menjadi makanan favoritnya. Burung-burung juga kerap mengira manik-manik sebagai biji-bijian karena ukurannya yang kecil dan warnanya yang menarik. Untuk itulah daur ulang sampah plastik menjadi salah satu kegiatan yang wajib ditularkan.
Apa itu ecobrick?
Ecobrick berasal dari kata ‘eco’ dan ‘brick’ yang artinya bata ramah lingkungan. Ecobrick adalah mendaur ulang sampah plastik dengan menjejalkannya ke dalam botol plastik. Ini adalah cara paling mudah dan murah yang bisa dilakukan oleh siapa pun. Bahkan oleh anak kecil sekalipun.
Adalah Rusel Maier, orang Kanada, yang pertama kali mengenalkan ecobricks sebagai cara mendaur ulang plastik. Kemudahannya membuat ecobrick dengan cepat menyebar dan sudah dilakukan di banyak tempat.
Mendaur ulang sampah plastik menjadi ecobrick
Bersama SIBAT, murid-murid saya belajar membuat ecobrick menggunakan botol plastik dan lembaran plastik bekas. Lembaran plastik-plastik tersebut dijejalkan ke dalam botol plastik bekas. Lalu ditekan menggunakan sebilah tongkat bambu hingga padat.
David ‘Naruto’, salah satu relawan SIBAT, memberikan pendampingan cara membuat ecobrick. Sesekali dia menghampiri anak yang sudah selesai menjejalkan bungkus plastik ke dalam botol. David mengecek kepadatan isi botol dengan cara menekan menggunakan sebilah bambu. Jika belum padat dan masih terdapat ruang, anak-anak diminta untuk menambahkan kembali plastik ke dalamnya.
Cara ini cukup efektif mengurangi sampah plastik. Satu botol bisa menampung banyak sekali lembaran plastik. Nantinya eco-brick tersebut bisa digunakan untuk membuat karya lain, seperti meja atau kursi. Bahkan ada yang menggunakannya untuk material bangunan karena sifatnya yang kuat, awet dan tahan air. Sebenarnya semua tergantung dari kreativitas masing-masing.
Pada gambar di atas adalah salah satu hasil dari ecobrick yang sudah jadi. Dalam satu botol berukuran 600ml ini terdapat hingga 20 lembar plastik yang dipadatkan. Bisa terbayangkan berapa banyak sampah plastik yang bisa berkurang jika dibuat menjadi ecobrick.
Tentunya semakin banyak pula hewan yang akan terselamatkan dari bahaya sampah plastik yang kerap berserakan.
Mau dijadikan apa setelah ini? Ya suka-suka kalian.
Baca juga: