Tegar, Yubi, dan Awan secara bergantian berlari dan melompat ke dalam kolam di depannya. Air menyembul tinggi begitu tubuh kecil itu menghujam. Belum tenang riak yang ditimbulkan, bocah kedua dan ketiga kembali menghujam ke dalam air di kolam. Ketiganya menyembul keluar dengan wajah riang. Lalu mereka berenang menuju tepian dan mengentaskan tubuh kecil mereka dari dalam kolam dan melakukan hal yang sama beberapa kali.
Saya mengamati ketiga bocah kecil tersebut dari seberang kolam sambil mengingat kapan terakhir kali saya melakukan hal yang sama. Mungkin satu dekade lalu atau lebih. Sama seperti ketiga bocah tersebut, bagi saya, Sendang Senjoyo juga menjadi salah satu tempat favorit untuk berenang, bermain air, mencuci atau sekadar menjaring ikan.
BACA JUGA:
- 15 Homestay Murah di Jogja (Di bawah 600ribu)
- Mengayuh Pedal di Gunung Ungaran
- Akhir Tidur Panjang Kereta Jenazah Kolonial
Masa kecil
Sendang Senjoyo terletak di Desa Tegalwaton, kabupaten Semarang. Waktu kecil, saya dan teman-teman harus bersepeda selama lebih dari satu jam dari Salatiga untuk mencapai Senjoyo. Kami berbonceng-boncengan karena hanya beberapa dari kami yang punya sepeda.
Peluh yang membasahi badan dan otot kaki yang kejang karena menempuh tanjakan seakan tak berarti ketika kami sudah terjun ke dalam air di kolam Senjoyo. Kesegaran air Senjoyo seakan menghapus lelah dan dahaga kami sepanjang perjalanan. Sebelum pulang, kami biasanya mencuci sepeda dan menangkap ikan serta udang untuk dipelihara atau pakan kura-kura.
Mata air Senjoyo tak ubahnya rahim ibu yang selalu memberikan penghidupan bagi warga yang merasakan setiap tetes airnya. Sendang Senjoyo ini adalah salah satu pilar utama yang menopang kebutuhan air untuk keperluan harian. Tak pernah sekali pun airnya mengering walau debitya pernah mengecil.
Tahun 2017, debit Senjoyo kembali naik hingga 1100 liter/detik setelah sebelumnya sempat berada di angka 800. Pohon-pohon besar yang memayungi sekitar sendang menjadi salah satu pemeran utama dalam menjaga kelestarian mata air Senjoyo selain sumur resapan yang dibuat warga sekitar.
Hingga kini Sendang Senjoyo tak banyak berubah. Orang-orang yang mencuci pakaian dan motor tetap menjadi pemandangan utama. Begitu pula dengan anak-anak yang berenang bersama teman dan orang tua mereka seperti Tegar, Yubi, dan Awan. Bahkan di waktu tertentu, kita bisa menyaksikan anak-anak memandikan kuda di sungai Senjoyo.
Warung-warung gorengan dan kopi juga tetap berdiri di tempat yang sama. Yang saya ingat, dulu ada satu makanan khas di warung dekat kolam berenang. Pecel jembak nama makanan tersebut.
Tempat ini kini semakin ramai semenjak banyak ikan mas di dalam kolam utama. Orang-orang kini punya alasan lain untuk datang ke Senjoyo, berenang dan berfoto dengan ikan. Tentu saja ini menjadi berkah tersendiri untuk para pemilik warung dan juru parkir.
Selain tempat untuk wisata keluarga dan melakukan aktivitas harian, Sendang Senjoyo juga menghidupi banyak orang dari segi spiritual. Sudah sejak lama banyak orang yang datang ke sini untuk mandi atau berendam.
Umumnya orang-orang melakukannya di malam hari menjelang atau selepas tengah malam. Mereka berendam dengan bermaksud untuk membersihkan diri. Bukan hanya secara fisik, tapi juga rohani.
BACA JUGA:
- Mencari Arti Sensualitas Candi Sukuh
- Teratai Raksasa di Gugusan Pegunungan Menoreh
- Menilik Penjelajah Laut di Konservasi Penyu Pacitan
Sudah banyak berubah pasti. Terlihat dari cerita dan foto.
Dulu, yeah… khas orang jadul selalu ngomong masa lalu, Senjaya dan Kalisumba masih alami. Begitu pun danau kecil di belakang Muncul sebelum ada pabrik air kemasan. Saya tak tahu bagaimana Kali Pancur sekarang.
Tentang air kali di Salatiga tampaknya makin buruk. Dulu saja kali yang lewat Nanggulan dan Tegalrejo sering berubah warna, tergantung pewarna dari pabrik tekstil di Tlogo.
Sepuluh tahun lalu saya napak tilas ke Kali Ngipik, Sinoman, tempat saya pernah bermain, ternyata airnya dangkal, penuh sampah plastik.