Sebuah piramida dengan puncak seperti habis dipotong bergeming di hadapan saya. Piramida ini jauh lebih kecil daripada Piramida Giza yang saya jumpai di Mesir. Bentuknya lebih mirip piramida milik suku Aztech di Meksiko. Apakah ada hubungan dengan Candi Sukuh di depan saya ini? Tidak ada sumber yang bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Bangunan tua memang selalu menyimpan misteri. Rasa penasaran bisa jadi menjadi salah satu alasan mengapa banyak peneliti yang mendedikasikan hidupnya menelisik bangunan bersejarah. Seperti saya yang penasaran dengan piramida Candi Sukuh di depan saya. Terlebih Candi Sukuh cukup terkenal karena sensualitas arca dan reliefnya.
Candi Sukuh berada di lereng Gunung Lawu, Kabupateng Karanganyar, Jawa Tengah. Karenanya, jalan menanjak mendominasi di sepanjang perjalanan. Motor saya pun dibuat meraung-raung olehnya. Perlu satu jam bagi saya untuk mencapai Candi Sukuh dari Surakarta. Sesampainya di candi, saya dan Sarah segera menebus tiket seharga tujuh ribu rupiah.
Seorang penjaga menghampiri kami untuk melingkarkan sebuah sarung hitam putih dengan corak kotak-kotak di pinggang. Sarung tersebut merupakan sebuah penghormatan yang harus dikenakan selama memasuki area Candi Sukuh bercorak Hindu ini.
Baca juga:
- Candi Cetho – Candi untuk Ruwatan
- Candi Sambisari, Candi yang Bangkit dari “Kubur”
- Menyusuri Keindahan Pura Gunung Kawi
Relief Candi
Hal yang paling kentara dari candi-candi Hindu adalah arca lingga dan yoni. Kedua arca tersebut digambarkan dengan alat kelamin laki-laki dan perempuan yang merupakan simbol kesuburan. Keduanya bisa ditemui di Candi Cetho yang juga berada di kaki Gunung Lawu.
Pahatan lingga dan yoni yang pertama bisa dijumpai di lantai gerbang masuk candi. Simbol tersebut dipercaya sebagai mantra untuk membersihkan hati. Karenanya diletakkan di lantai gapura pintu masuk candi. Supaya siapa pun yang memasuki Candi Sukuh hatinya sudah bersih. Namun, tempat ini sekarang diberi pagar sehingga pengunjung hanya bisa melihat dari luar.
Kompleks Candi Sukuh tak sebesar Candi Cetho. Hanya ada tiga teras sebelum menuju piramida utama. Setiap teras memiliki sebuah gapura sebagai pintu masuknya. Lapangan berumput hijau terbentang memberi nuansa segar pada mata yang lelah selama perjalanan. Batuan pada gapura tersebut tak lagi utuh. Banyak di antaranya yang bahkan sudah hilang dan rusak.
Setiap teras memiliki tangga yang kecil dan curam. Satu anak tangga bahkan tidak muat menopang seluruh kaki saya. Saya jadi teringat cerita ketika mengunjungi Angkor Wat. Tangga pada candi memang sengaja dibuat kecil dan curam. Ada sebuah makna bestari terkandung di dalamnya. Anak tangga dibuat kecil dan curam sebagai penggambaran atas susahnya meraih nirwana. Jalannya curam dan penuh perjuangan.
Sampai di teras ketiga, teras paling atas dan suci, mata saya tertuju pada deretan arca yang diletakkan berjejer di sebelah kiri. Saya dan Sarah menghampiri arca-arca tersebut. Berjajar arca hewan seperti gajah dan sapi. Kedua hewan tersebut merupakan hewan yang disakralkan oleh masyarakat Hindu. Bisa jadi ini lah alasan mengapa relief kedua binatang tersebut banyak dijumpai di sini. Selain itu ada juga arca hewan kura-kura sebanyak tiga buah di depan pelataran utama piramida. Ketiganya melambangkan dunia bawah atau dasar Gunung Mahameru.
Pada relief yang berjajar tersebut berkisah cerita Sudamala. Ini adalah kisah tentang Sadewa yang berhasil menghilangkan kutukan pada Dewi Uma yang tak lain adalah istri Bathara Guru. Ia dikutuk menjadi seorang raksasa bernama Bathara Durga. Singkat cerita Sadewa berhasil melakukan ruwatan untuk menghilangkan kutukan tersebut. Sebagai “hadiah” atas keberhasilannya meruwat Dewi Uma, ia dinikahkan dengan Dewi Pradhapa.
Relief tersebut menarik perhatian saya. Pada latar dari adegan tersebut terlihat sebuah gapura dengan posisi miring. Saya bertanya-tanya mengapa gapura tersebut digambarkan miring. Sayangnya tak ada catatan yang bisa memberitahu saya alasan dari gambar yang miring tersebut. Padahal di relief lainnya posisi bangunan pada latar digambarkan dengan posisi datar.
Kami lalu pindah ke sisi lain teras. Dua arca manusia bersayap tanpa kepala berdiri tegak. Di sampingnya, sebuah arca garuda lain cukup beruntung karena bagian tubuhnya masih utuh. Sehingga saya bisa membayangkan bagaimana kepala garuda yang hilang dari dua arca lainnya. Saya pernah membaca di sebuah artikel bahwa kepala arca laku keras di pasar gelap. Karenanya kita banyak menjumpai kepala arca yang hilang. Arca patung Buddha di Candi Borobudur adalah salah satu korbannya.
Kini saya berjalan mengitari bangunan utama candi yang berbentuk piramida. Batuan berbentuk balok ditata rapi mengerucut ke atas sebagai pondasi. Ukuran satu sama lainnya kurang lebih sama. Hanya saja batuan tersebut tidak dipotong rapi seperti bagian atas dan depan piramida.
Sampai di bagian depan, saya mengamati sebuah relief yang ada di sebelah kiri pintu masuk piramida. Pada relief tersebut terlihat seorang perempuan dan laki-laki yang berdiri di atas kepala ular. Dua burung melingkarkan ekor mereka yang panjang kepada lelaki dan perempuan tersebut. Saya sempat berpikir kalau relief tersebut menyerupai bentuk rahim. Sedangkan lelaki dan perempuan di dalamnya adalah calon anak yang masih berkaitan dengan cerita Sudamala.
Kami lalu mencoba masuk ke dalam piramida. Tidak ada ruangan di bagian dalamnya. Hanya ada tangga curam dan kecil yang mengarahkan kami menuju ke bagian atas bangunan utama. Jarak antara anak tangga cukup tinggi. Untung kaki saya cukup panjang untuk memijaki anak tangga. Tapi lain soal dengan Sarah. Dia terlihat cukup kepayahan menjangkau antara anak tangga yang setinggi lututnya.
Mendekati bagian atas, terdapat sebuah terowongan pendek yang harus kami lewati. Saya harus menunduk agar kepala saya tidak terantuk batu. Sampai di atas, disuguhi pemandangan area pelataran Candi Sukuh yang berwarna hijau dengan warna biru langit sebagai latarnya. Semua kompleks candi terlihat elok dari atas. Pohon-pohon menjulang di kanan kiri membuat area pelataran terlihat rindang dan asri.
Bagian atas piramida hanya lah area lapang seluas kurang lebih dua puluh lima persegi. Sebuah cekungan berada tepat di bagian tengah. Di dalamnya terdapat sisa dupa yang terbakar, kuncup daun kanthil, dan beberapa uang koin. Tak jelas fungsi dari uang koin tersebut. Sebagai persembahan kah atau hanya ulah iseng?
Kami menyudahi perjalanan mengelilingi area Candi Sukuh ketika hari beranjak siang dan orang-orang ramai berdatangan. Sambil melenggang pergi, terbersit di dalam pikiran, mengapa orang-orang jaman dahulu bisa dengan lapang dada mempertontonkan arca lingga yoni yang sekarang dianggap vulgar. Bahkan dipahat di areal candi yang notabene adalah tempat peribadatan. Bisa kah hal ini diartikan jika orang dulu lebih berpikiran luas (terhadap simbol lingga yoni) dibanding orang-orang di jaman modern ini?
Untuk foto yang lebih lengkap sila kunjungi Instagram ardiannugroho.
Video: