Geliat Fajar Kota Tua Batavia Lama

Kota Tua Batavia Lama
Aktivitas pagi di alun-alun Kota Lama Jakarta. (Foto: Dok.Pri.)

Matahari baru saja bangun dari tidur panjangnya ketika saya tiba di pelataran Kota Tua. Hangat sinarnya menyapa ramah kepada siapa saja yang sedang berada di sana. Menyingkirkan anggapan bahwa ibukota selalu panas membara. Saya duduk di belakang meriam Si Jagur seraya mengamati geliat fajar Kota Tua yang merupakan Situs Warisan Budaya peninggalan Batavia Lama.

Perlahan Sang Fajar bertambah tinggi. Sinarnya menyirami dinding-dinding bangunan tua yang teguh berdiri mengelilingi alun-alun Kota Tua. Mata saya tertuju pada sebuah gedung tua di seberang tempat saya duduk. Ia membentang tegap bak sebuah benteng dengan sebuah menara tepat di tengah. Di depannya berjajar empat buah meriam. Jendela-jendela besar khas gaya Eropa ditata rapi seperti ditempel dengan jarak yang presisi antara satu dengan lainnya.

Baca juga: Lahirnya Kera Putih Penangguh Dosa Retna Anjani

Sebuah pintu besar berbentuk setengah lingkaran berada tepat di tengah-tengahnya. Sekali lagi membuat saya berimajinasi bahwa si mandor harus membawa garisan ekstra panjang untuk mengukur ketepatan jaraknya. Di atasnya, sebuah tulisan dalam bahasa Belanda terpahat tipis, Gouverneurs Kantoor. Darinya saya bisa menduga fungsi gedung ini di masa abad 17 silam.

Meriam si Jagur
Meriam Si Jagur dengan ibu jari di sela jari telunjuk dan jari tengah yang bermakna “semoga beruntung” dalam bahasa Portugis. (Foto: Dok.Pri.)

Angan saya melayang sembari berusaha membayangkan keramaian yang terjadi di tempat ini di masa lampau. Di waktu yang sama, Kota Tua Batavia Lama pasti jauh lebih sibuk daripada sekarang. Tempat ini pernah menjadi jantung kota Batavia Lama dengan Stadhuis atau Gedung Balai Kota di seberang saya sebagai pusatnya.

Orang-orang memanggul koper dan karung di punggung dan pundak bisa jadi merupakan pemandangan yang biasa karena di dekat sini terdapat pelabuhan Sunda Kelapa. Suara bising peluit kapal uap yang entah sedang berlabuh atau akan melaut saling sahut menyahut pastilah menjadi musik yang akrab di telinga. Belum lagi teriakan para mandor kapal atau hanya orang yang lalu lalang di sekitar Kota Tua.

Saya berjalan menuju sebuah tugu di tengah alun-alun. Tugu ini dulunya dilengkapi dengan air mancur yang berfungsi sebagai pemasok air ke rumah-rumah di sekitarnya. Namun kini perannya sudah selesai. Ia berada di sana menjadi pelengkap sejarah dari Kota Tua.

Para sukarelawan dari Yayasan Jantung Sehat yang mempromosikan gerakan rokok harus mahal. (Foto: Dok.Pri.)

Lamunan saya buyar oleh geliat Kota Tua yang mulai membahana. Anak-anak berkejaran menikmati kebebasan dalam canda tawa sementara orang tuanya mengawasi dari kejauhan. Di sudut lain, beberapa pesepeda berputar-putar di halaman Kota Tua. Sedangkan yang lainnya duduk di pinggiran bercengkrama dengan kawan sambil mengatur nafas.

Baca juga: Syukur Penghibur Jalanan Sungai Martapura

Lain pula di pelataran gedung Gouverneurs Kantoor. Di depan gedung yang dibangun pada abad 17 tersebut, puluhan orang berbaju merah dari Yayasan Jantung Indonesia berjejalan. Riuh rendah mereka menyerukan alasan kenapa mereka menginginkan harga rokok menjadi mahal.

Kota Tua
Sepeda-sepeda kumbang dengan cat berwarna ceria dijajar rapi menunggu untuk disewa. (Foto:Dok.Pri.)

Seiring tingginya mentari, kebingaran semakin menjadi. Orang-orang semakin ramai berdatangan. Sepeda-sepeda kumbang mulai dijajar rapi di pinggir alun-alun. Mereka dicat dengan warna-warna ceria yang membuat sepeda kumbang tersebut menanggalkan kesan antiknya. Di sebelahnya, sang pemilik dengan setia menunggu para penyewa sepeda. Sama halnya Kota Tua yang sedang berharap ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO.