Pulau Kembang Nan Bertuah

Pulau Kembang

Hembusan angin bertambah kencang manakala kecepatan kelotok, perahu kayu, bertambah. Goyangan kapal kini lebih terasa daripada sebelumnya. Dari yang awalnya berdiri, saya pun segera mengambil sikap duduk untuk mengurangi resiko terpelanting dari atap kapal. Tidak lucu jika saya terjatuh karena sentakan kapal yang sedang menerjang ombak.

Saya sedang duduk di atap kelotok sambil menikmati pemandangan sekeliling Sungai Barito ketika keponakan saya yang berusia lima dan tujuh tahun menyusul. Tanpa canggung mereka berjalan di atap berlapis seng menuju ke tempat di mana saya duduk. Ayah mereka pun dengan tenang mengawasi dari belakang sisi kapal. Tak sedikit pun terpancar takut atau khawatir pada raut mukanya. Mungkin karena sudah terbiasa naik kapal kayu atau memang mereka orang asli Banjarmasin, jadi hal tersebut sudah biasa bagi mereka.

perahu kelotok
Perahu kelotok hanya dioperasikan satu orang nahkoda. Kabin ini cukup rendah sehingga diharuskan merangkak jika ingin berpindah tempat. Walau rendah, kabin ini cukup nyaman karena dilengkapi dengan jendela besar di kanan kiri untuk melihat pemandangan di sepanjang Sungai Barito.

Hembusan angin tak lagi mampu menyamarkan sengatan matahari pada kulit cokelat kami. Kami akhirnya memutuskan untuk turun dari atap kelotok dan masuk ke dalam kabin. Tinggi kabin kelotok tidak lebih dari satu setengah meter, atau bahkan kurang. Sehingga kami harus merangkak untuk masuk ke dalamnya. Beberapa kali saya terantuk kayu atap karena desainnya yang rendah. Kelotok ini memang sengaja dibuat rendah agar tidak terbalik jika terkena angin besar karena ukuran kapal yang kecil.

Bagi saya yang jarang bepergian menggunakan kapal, perjalanan menuju Pulau Kembang menawarkan pemandangan yang menarik. Kapal-kapal pengangkut batu bara berukuran ratusan kali lipat yang sedang berlabuh terlihat seperti dinosaurus sedang beristirahat. Gelondongan kayu-kayu ulin mengapung berjajar di sekitar rumah pemotongan kayu memberikan kesan saya sedang berada tidak jauh dari hutan Kalimantan walaupun kenyataannya tidak. Namun dari semua itu, pemandangan yang saya suka adalah saat melewati rumah-rumah panggung khas Kalimantan.

Setelah kurang lebih empat puluh menit kami mengarungi Sungai Barito, akhirnya kami menepi di dermaga tujuan. Saya pun lantas keluar dari kabin dan berpindah ke atap kelotok agar bisa melihat dengan jelas proses kapal melabuh di Pulau Kembang. Seseorang di dermaga dengan cekatan membantu menambatkan tali perahu kami ke dermaga. Mesin pun dimatikan dan kami dipersilahkan untuk naik ke dermaga Pulau Kembang.

Kami harus menebus tiket seharga lima ribu rupiah untuk satu orang untuk bisa masuk ke dalam Pulau Kembang. Sebelumnya, ibu dan saudara lain memperingatkan saya agar menjaga barang bawaan saat berada di dalam pulau nanti. Monyet ekor panjang sebagai penghuni Pulau Kembang kerap mengambil barang milik para pengunjung. Tak ingin mengambil resiko, saya segera menutup tas dengan rain cover agar aman dari jangkauan tangan jahil para monyet ekor panjang.

Pulau Kembang adalah sebuah pulau kecil yang terletak di Sungai Barito, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Pulau yang dihuni oleh monyet ekor panjang ini cukup terkenal bagi orang Banjarmasin dan kerap menjadi tujuan wisata warga Banjar dan sekitarnya. Selain sebagai tempat wisata, warga Kalimantan Selatan memandang Pulau Kembang sebagai pulau sakral karena legenda yang berkembang di baliknya.

Pulau Kembang
Dikarenakan seringnya berinteraksi dengan manusia, monyet ekor panjang yang hidup di Pulau Kembang tidak takut kepada manusia. Bahkan mereka terkesan jinak dan menurut. Terlebih jika sebelum menyentuhnya, pengunjung memberi makan terlebih dahulu.

Dikisahkan asal mula terbentuknya Pulau Kembang adalah karena bangkai kapal-kapal Inggris yang karam setelah dihancurkan oleh Datu Pujung, seorang patih Kerajaan Kuin yang sakti. Datu Pujung menghancurkan kapal-kapal Inggris setelah mereka tetap bersikeras untuk menetap dan menguasai Kerajaan Kuin. Padahal mereka sudah berjanji akan pergi jika tidak bisa memenuhi permintaan yang diajukan oleh Datu Pujung, yaitu membelah kayu ulin besar tanpa alat.

Geram karena kesepakatan dilanggar, Datu Pujung dengan kesaktiannya menenggelamkan kapal-kapal seorang diri. Semua penumpang ikut tenggelam dengan kapal yang mereka tumpangi. Lambat laun, banyak benda-benda termasuk kayu menyangkut di bangkai kapal tersebut hingga akhirnya membuat sebuah pulau. Setelah bertahun-tahun, ukuran pulau tersebut semakin bertambah besar dan tanaman mulai tumbuh di atasnya.

Sebuah jalan setapak yang dibuat dari beton berjajar menjadi akses utama untuk masuk ke dalam Pulau Kembang. Banyak orang lokal menawarkan bungkusan kacang dan pisang kepada kami untuk diberikan kepada monyet ekor panjang. Kami menolak tawaran mereka karena sudah menyiapkan banyak pisang dan kacang untuk monyet-monyet di Pulau Kembang ini.

Tepat sebelum masuk ke dalam hutan, kami dihadapkan oleh sebuah altar dengan dua buah arca monyet berdiri dia atasnya. Dua arca monyet tersebut melambangkan penjaga dari Pulau Kembang. Salah satunya digambarkan sebagai kera putih bernama Hanoman.

Pulau Kembang
Memberi makan secara langsung menjadi daya tarik utama saat mengunjungi Pulau Kembang. Pisang dan kacang merupakan makan yang sering ditawarkan kepada monyet, walau tak ayal kadang mereka bahkan memberikan permen lollipop ke para monyet.

Saya mengikuti ibu dan saudara saya menelusuri jalan panggung yang sudah disediakan. Sepanjang jalan kami menawarkan pisang dan kacang yang telah kami bawa pada monyet yang kami temui. Tapi para monyet tampak angkuh. Mereka hanya mengambil dan kemudian membuangnya. Kelihatannya jumlah pengunjung yang membludak di masa libur sekolah telah membuat para monyet ini kenyang hingga akhirnya mereka membuang makanan yang diberikan. Pada akhirnya makanan yang dibuang tersebut menjadi sampah.

Seperti halnya tempat wisata yang dihuni binatang liar, pawang binatang pasti ada di sana. Pada umumnya pawang binatang dilakukan oleh seorang pria, tapi di Pulau Kembang pawang monyet adalah para perempuan. Dengan membawa sebilah tongkat, mereka mengawal pengunjung mengelilingi pulau. Sesekali mereka menirukan suara monyet ekor panjang untuk memanggil monyet agar para pengunjung bisa memberikan makanan.

Awalnya tidak ada monyet ekor panjang yang hidup di pulau tersebut hingga suatu hari salah satu keturunan raja kuin melepaskan sepasang monyet ekor panjang di sana. Sepasang monyet ekor panjang dimaksudkan sebagai penjaga Pulau Kembang. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk terima kasih karena upacara badudus (mandi) yang ia lakukan di sana membuahkan hasil. Seorang ahli nujum lah yang memberikannya nasehat untuk melakukan upacara badudus jika ia ingin mendapatkan anak. Upacara badudus dianggap berhasil karena sang istri hamil.

Pulau Kembang
Seorang pawang wanita sedang menirukan suara monyet dengan tujuan para monyet datang mendekat agar pengunjung bisa memberikan makanan secara langsung.

Legenda tentang keberhasilan upacara badudus tersebut menyebar ke banyak orang hingga akhirnya mereka datang ke pulau ini bermaksud menyampaikan doa sambil bernadzar. Mereka yang nadzar atau kaulnya terkabul biasanya akan kembali dan melepaskan kambing jantan dengan tanduk dilapis emas.

Setiap orang yang datang selalu membawa bunga untuk disebar di pulau ini. Lambat laun banyak Kambang/kembang atau bunga tersebar menghiasi pulau ini. Oleh sebab itulah orang-orang menamainya Pulau Kambang atau Pulau Kembang.

Pengunjung biasanya meninggalkan makanan seperti kacang atau pisang di jalan. Monyet-monyet akan berdatangan dan mengambilnya manakala jalanan sudah sepi tidak ada orang.

Cerita tersebut menjadi penyumpal rasa penasaran saya kenapa pulau ini bisa bernama Pulau Kembang. Padahal saat saya berkeliling pulau, tidak satu pun pohon berhias bunga yang saya lihat. Ternyata memang nama tersebut bukan karena kembang dari pohon-pohon yang tumbuh di pulau ini.

Nyatanya tidak hanya monyet yang disakralkan di Pulau Kembang, bahkan airnya pun juga dianggap memiliki khasiat. Saat sedang berkeliling, saya melihat seseorang turun dari jalan setapak melalui sebuah pohon lalu mengambil air di bawahnya menggunakan botol minum. Raut mukanya tampak sumringah tatkala ia berhasil mengambil air dan kemudian memasukannya ke dalam tas. 

Monyet di pulau kembang
Monyet ekor panjang sedang menggigit es yang diberikan oleh seorang pengunjung. Makanan tersebut sebenarnya tidak cocok bagi monyet. Namun sepertinya belum ada regulasi yang mengatur makanan apa saja yang boleh diberikan kepada para monyet penghuni Pulau Kembang ini.

Tempat yang dipercaya mengandung petuah selalu bisa menarik banyak pengunjung walaupun tempatnya terkesan biasa saja. Terlebih, tempat seperti itu biasanya lebih dijaga keamanan dan kelestariannya karena banyak orang takut akan terkena sial jika melakukan perbuatan buruk di sana. Mengingat banyaknya vandalisme yang kerap terjadi di berbagai tempat wisata, perlukah memberikan kesan sebagai tempat bertuah yang serupa?