Mengayuh Pedal di Gunung Ungaran

Mengayuh Pedal di Gunung Ungaran
Sebuah petualangan di tempat yang sama tak selalu memberikan sensasi yang sama. Apalagi jika dilakukan dengan cara yang berbeda.

Matahari baru setinggi tombak saat saya mendapat sebuah pesan singkat yang isinya untuk segera bersiap dan menunggu di tempat biasa. Sebentar lagi teman saya akan menjemput sehabis loading, istilah yang digunakan untuk menaikkan sepeda ke dalam mobil. Benar saja, tak berapa lama sebuah mobil menghampiri saya yang sudah menunggu di pinggir jalan. Begitu masuk ke dalam mobil, saya melihat dua buah sepeda diletakkan berjejer di bagasi setelah roda-rodanya dipereteli terlebih dulu.

Kami bergegas menuju kos teman untuk mengambil sepeda ketiga. Loading sepeda terakhir kami selesaikan dengan cepat karena satu teman kami sudah sampai di Sidomukti, Ungaran. Sama seperti dua sepeda yang lain, sepeda ketiga juga kami copoti roda depan dan belakang agar muat masuk ke dalam bagian tengah mobil. Sepeda sudah lengkap. Persiapan selesai. Kami berangkat menuju lokasi.

Pemandangan lanskap Ambarawa indah membentang di belakang kami
Pemandangan lanskap Ambarawa indah membentang di belakang kami (foto: Dian Pramudita)

Sesampainya di Sidomukti, Ungaran, kami langsung menuju ke Pos Mawar, basecamp Gunung Ungaran. Di sana kami merakit kembali sepeda dengan roda-rodanya setelah bertemu dengan teman yang sudah menunggu sedari tadi. Cuaca panas tak menyurutkan niat kami untuk segera menggenjot sepeda menuju Desa Promasan, desa terakhir di Gunung Ungaran. Terakhir kali saya mengunjungi desa ini 7 tahun lalu. Di desa ini terdapat kebun teh yang membentang dengan Gunung Ungaran sebagai latar.

Tak terasa sudah 7 tahun saya tak menjamah Gunung Ungaran. Dalam rentang waktu yang cukup lama tersebut sudah banyak sekali perubahan terjadi di gunung yang memiliki tinggi 2050 mdpl ini. Apalagi sejak Sidomukti booming karena tempat wisata outboundnya. Pos Mawar salah satunya. Saya hampir tidak bisa mengenali pos ini yang berada dalam himpitan vila-vila. Begitu juga dengan hutan pinus yang tak selebat dulu. Banyak pohon-pohon pinus yang dipotong untuk diremajakan. Namun, ikon dari tempat ini belum hilang, bunga mawar. Bunga mawar yang banyak tumbuh di daerah ini lah yang menjadi alasan kenapa basecamp pendakian dinamakan Pos Mawar.

Cukup dengan nostalgia, kami segera memulai petualangan. Alih-alih meluncur cepat di atas sepeda, saya harus menjinakkan sepeda ini terlebih dulu. Sepeda ini bak kuda liar yang terus berjingkrak saat saya mengayuh. Roda depan selalu terangkat sehingga membuat saya kehilangan keseimbangan. Alhasil saya menjadi bulan-bulanan teman saya. Setelah puas tertawa, teman saya memberitahu untuk mencondongkan badan ke depan sebagai penyeimbang. Benar saja, saat saya mengikuti instruksinya, kuda jingkrak ini pun langsung jinak saat saya kayuh.

Perjalanan ini benar-benar menguras tenaga saya
Perjalanan ini benar-benar menguras tenaga saya (foto: Dian Pramudita)

Kami meluncur di atas jalur pendakian memasuki hutan pinus di belakang basecamp. Jalur yang menurun dan sempit membuat saya harus waspada dan pandai memainkan tuas rem di tangan. Begitu juga dengan keseimbangan yang harus terus dijaga karena sebelah kanan saya merupakan lereng yang cukup curam. Namun, kami tak selalu mengayuh pedal. Ada kalanya kami harus berhenti ketika berpapasan dengan para pendaki yang sedang turun gunung karena jalanan ini tak cukup lebar untuk kami bergerak berdampingan. Kadang kami juga menuntun bahkan sampai memanggul sepeda saat menemui jalanan menanjak berbatu. 
 
Belum jauh kami mengayuh, kami memutuskan untuk beristirahat. Cuaca yang terik serta jalur yang menantang membuat keringat saya mengalir deras membasahi wajah dan badan. Pinggang saya seperti mau copot saat mencoba menyeimbangkan diri di atas sepeda dan saya masih saja menjadi bulan-bulanan teman saya. Sembari menunggu nafas ini kembali normal, kami menikmati pemandangan Sidomukti di bawah kami dan lanskap Ambarawa dan Salatiga yang membentang indah di depan kami.

Para pendaki Gunung Ungaran yang siap melanjutkan perjalanan pulang setelah mengambil air
Para pendaki Gunung Ungaran yang siap melanjutkan perjalanan pulang setelah mengambil air (dok.pri)

Saat nafas sudah kembali normal, kami melanjutkan perjalanan menuju air terjun yang akhirnya kami sepakati sebagai garis finish. Tidak lagi Desa Promasan seperti rencana awal. Air terjun ini hanya berjarak setengah perjalanan dari Pos Mawar menuju Desa Promasan. Airnya yang jernih menjadikan mata air ini sebagai sumber air utama bagi penduduk sekitar.

Air terjun ini pun juga tak luput dari perubahan. Seingat saya dulu terdapat parit kecil di sepanjang jalur pendakian yang di dalamnya mengalir air segar nan bening dari air terjun ini. Sekarang, parit itu tak berbekas. Entah apa gerangan yang membuatnya hilang.

Sesampainya di sini, kami beristirahat dan mengambil air dari air terjun kecil sebagai bekal kembali ke Pos Mawar. Kami bertemu dengan para pendaki yang sudah ada di sini terlebih dahulu. Kelihatannya mereka kelelahan setelah menuruni Gunung Ungaran. Akhir-akhir ini naik gunung memang sedang menjadi tren di kalangan para anak-anak remaja. Karena itulah gunung-gunung menjadi ramai saat weekend. Sama halnya saat saya pergi melihat sunrise di puncak Gunung Andong dan Gunung Prau. Puncak gunung bak pasar dengan lautan manusia. Matahari sudah agak condong ke barat dan kami memutuskan untuk kembali.

mata air Gunung Ungaran
Mata air Gunung Ungaran (dok.pri)

 Sekali lagi kami mengayuh sepeda, menuju Pos Mawar. Tampaknya dalam perjalanan pulang ini, keberuntungan tidak terlalu berpihak pada teman saya. Pengontrol gear sepedanya patah saat menyenggol batu di sisi jalan. Alhasil, dia harus menggunakan sepedanya seperti otoped. Sisi baiknya adalah jalanan lebih banyak menurun. Tapi tetap saja saya harus memanggul sepeda ketika melintasi jalur yang sedikit menanjak dan penuh batuan. “Ini sih bukan naik sepeda, tapi memanggul sepeda,” seloroh saya.

Inilah sensasi bersepeda off road, kita tak selalu duduk di atas sepeda, ada kalanya sepeda yang malah “menduduki” kita. Hidup memang harus memiliki keseimbangan. Ada kalanya kita di atas, ada kalanya kita di bawah. Yang penting pedal harus tetap dikayuh agar roda kehidupan tetap berputar.