Berbagai macam barang antik dijual di Pasar Triwindu, Solo. Seorang penjual sedang bersantai sambil menunggu pembeli. |
Nama aslinya adalah Pasar Windujenar dan sekarang lebih dikenal dengan nama Pasar Triwindu. Sesuai dengan namanya, Triwindu, pasar ini dibangun di tahun ke 24 pemerintahan Mangkunegaran VII Surakarta. Ini cerita yang saya dengar dari Dyta, temen saya yang saat itu mengajak saya untuk mengambil gambar di sini. Pasar yang terletak tidak jauh dari Keraton Mangkunegaran Surakarta ini menjual berbagai macam barang antik yang memiliki nilai historis yang tinggi. Bahkan dari cerita yang saya dengar, di pasar Triwindu ini pernah ditemukan barang-barang pusaka yang berasal dari dalam Keraton Surakarta. Ada pendapat yang mengatakan bahwa orang keraton sendiri yang memberikan barang pusaka tersebut kepada abdi dalem yang kemudian menjualnya. Pendapat lain mengatakan bahwa barang tersebut dicuri dan kemudian dijual ke pasar ini. Pendapat mana yang benar, biarlah itu menjadi tugas para sejarawan.
Rasa penasaran membawa kami berdua masuk jauh ke dalam pasar. Sebuah mesin waktu seolah-olah membawa saya kembali ke masa lalu begitu kaki menginjak pelataran Pasar Triwindu. Tempat ini layaknya sebuah surga bagi para pecinta barang kuno dan antik. Berbagai macam barang antik dan kuno dipajang di toko-toko. Mulai dari patung, uang, topeng, koin, lukisan, foto, hingga perabot alat makan dan elektronik. Semua barang kuno tersebut tersedia dengan berbagai ukuran dan bentuk. Umurnya pun juga beragam. Begitu juga dengan harganya. Semakin antik dan memiliki nilai historis, semakin mahal harga barang tersebut.
Kami berkeliling untuk melihat-lihat berbagai koleksi barang antik yang dijajakan di Pasar Triwindu. Beberapa kali kami berhenti untuk melihat lebih dekat benda-benda antik yang dipajang. Mengira-ira bagaimana cara kerja dan seberapa tua barang tersebut. Untungnya para penjual di Pasar Triwindu berbaik hati membiarkan kami menyentuh barang-barang antik tersebut. Bahkan kami pun diperbolehkan untuk mengambil gambar dengan gratis. Keadaan ini berbeda jika kita berkunjung ke pasar barang antik di Kota Lama Semarang di mana pengunjung harus membayar atau memberi sumbangan sukarela untuk setiap kali pengambilan gambar. Berbagai barang kuno ini menyadarkan saya begitu banyak barang kuno yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Pastinya setiap barang antik tersebut memiliki nilai historis yang tidak ternilai harganya.
Tidak semua barang yang dijual di Pasar Triwindu merupakan barang asli. Beberapa adalah barang replika karena barang aslinya tidak boleh diperdagangkan. Seperti sebuah keping uang bergambar salah satu tokoh wayang, Semar. “Ini bukan koin asli, mas,” jawab penjual koin yang saya tanya tentang keaslian koin tersebut. “Ini cuma replikanya aja kok,” imbuhnya. Barang replika tersebut mereka dapatkan dari pembuatnya langsung. Meskipun replika, tetap saja barang tersebut tidak murah. Untuk sebuah koin replika bergambar Semar bisa dihargai hingga tujuh puluh lima ribu. Kejelian menjadi hal wajib yang harus dimiliki saat berburu barang antik di sini.
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Visit Jawa Tengah 2016 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah @VisitJawaTengah (www.twitter.com/visitjawatengah)