Air Terjun Tegenungan menjadi pilihan karena selain dekat dengan tempat saya tinggal, kami berpikir mungkin saja tempat ini masih sepi sehingga kami bisa memasang hammock dan bersantai sembari menikmati gemericik air terjun. Berbekal informasi di internet dan peta di gawai, kami memacu sepeda motor menuju Gianyar. Empat puluh lima menit waktu yang kami butuhkan untuk tiba di tempat tujuan dari Denpasar, begitu perkiraan waktu yang muncul di peta. Ah, itu tidak begitu lama, pikir saya. Lagi pula kondisi jalanan tidak sedang ramai, jadi bisa saja kami sampai lebih cepat.
Perjalanan menuju Air Terjun Tegenungan bukannya tanpa rintangan, tapi justru hal ini bagian menariknya. Kehati-hatian saat mencari pijakan sangat diperlukan agar tidak terpeleset saat berjalan. |
Kami menyusuri jalan sesuai arahan dari peta di gawai. Walaupun sudah ada peta di tangan, bukan jaminan kami tidak bakal salah arah. Dan setelah beberapa kali kami salah mengambil jalan, kami akhirnya tiba di tempat yang di tuju. Tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa mobil dan motor diam berjajar terparkir di tempat yang sudah disediakan. Dari orang sekitar saya baru tau kalau Air Terjun Tegenungan memiliki nama lain yaitu Air Terjun Blangsinga. Perbedaan nama ini hanya karena kami parkir di daerah Blangsinga. Sedangkan daerah Tegenungan berada di ujung seberang lainnya. Tak perlu dibuat pusing karena nyatanya air terjunnya tetap sama.
Setelah menebus tiket sukarela – kami memberi lima ribu untuk satu orang – dan menuliskan nama kami di buku tamu, seorang anak kecil yang bertindak sebagai guide lokal menawari kami sebagai penunjuk jalan. Kami menolak dengan halus karena dari tempat kami berdiri sudah terdengar gemuruh suara air terjun. Apalagi hanya ada satu jalan setapak. Jadi tak mungkin kami tersesat dalam perjalanan menuju air terjun.
Menyusuri jalur yang masih alami dengan pemandangan tebing batu besar di sepanjang jalur menuju Air Terjun Tegenungan menjadi pengalaman tersendiri. |
Jalur menuju Air Terjun Tegenungan dari Blangsinga cukup membuat dua teman saya kepayahan. Track yang masih tanah dan licin membuat mereka beberapa kali harus mencari pijakan dan pegangan yang kuat sebelum melangkah. Kondisi jalur ini jauh berbeda dengan jalur dari Tegenungan. Jalur dari sana lebih bagus. Dari tempat parkir, pengunjung tinggal menuruni anak tangga yang sudah disemen. Tapi tetap saja harus berhati-hati karena jalur yang licin.
Setelah sepuluh menit berjalan, kini Air Terjun Tegenungan menantang jelas di depan kami. Suara gemuruh air sedari tadi kami dengar dari kejauhan kini semakin kencang saat kami berjalan mendekat. Kuatnya aliran air mengaburkan butiran-butiran air hingga tempat kami berdiri. Menyentuh kulit. Memberikan kesegaran. Menggantikan butiran-butiran keringat yang tadinya menempel. Rasa gerah setelah berjalan langsung sirna seketika. Digantikan oleh kesejukan dari suasana di sekitar Air Terjun Tegenungan. Deru aliran air yang menghujam kolam di bawahnya menggema tertahan oleh tebing tinggi yang berada di sisi kanan dan kiri. Senyum mengembang di wajah kami. Tak sabar rasanya mencelupkan kaki dan tubuh ke dalam air yang mengalir. Terlebih kondisi airnya masih bersih.
Pengawasan dari orang tua sangat diperlukan saat mengajak anak-anaknya bermain air di Air Terjun Tegenungan karena debit air yang tinggi dan kedalaman yang mencapai leher orang dewasa |
Agaknya alam mempunyai cara tersendiri untuk memberi kejutan kepada para penikmatnya. Mentari yang sudah tergelincir dan terlihat terhalang oleh tebing dan pepohonan yang tinggi masih saja bisa menelusupkan cahayanya ke arah air terjun. Cahaya matari lalu dibiaskan oleh butiran-butiran air yang ada di udara dan sejenak kemudian semburat pelangi terbentuk. Persis di kaki air terjun terbentuk pelangi dan meninggalkan decak kagum di antara kami para pengunjung Air Terjun Tegenungan sore itu. Tak ingin melewatkan momen langka tersebut, banyak orang segera menghentikan aktivitasnya dan kini memotret pelangi bak seorang artis yang muncul dadakan.
Tak ada keindahan yang abadi. Pelangi yang muncul secara mendadak kini mulai kabur bersamaan dengan matahari yang tergelincir ke barat. Suasana menjadi lebih dingin. Membuat suara gemeretak gigi kami menjadi semakin jelas saat menggigil kedinginan. Ditambah lagi pakaian kami yang basah tanpa membawa baju ganti karena sebelumnya kami memang tak berencana untuk berenang. Alhasil kami pun pulang ke rumah dengan pakaian basah yang masih melekat di badan.