Candi Cetho – Candi untuk Ruwatan

Gapura gerbang pintu masuk Candi Cetho
Gapura gerbang pintu masuk Candi Cetho.

“Ini jalan tanjakan terakhir, Mas,” seru teman saya setengah berteriak dari motornya, “setelah itu kita sampai di candinya”. Sebuah jalan lurus menanjak berada di depan kami, menantang untuk didaki. Mesin motor kami menderu-deru menaiki tanjakan terakhir. Tanjakan tersebut cukup curam sehingga mengharuskan kami berjalan sedikit zigzag agar motor kami bisa kuat mendaki. Beruntung jalanan pagi itu sedang sepi, jadi kami bisa leluasa mengambil semua badan jalan.

Sampai di atas, siluet gapura ramping menjulang dengan gaya khas Hindu menyambut kami. Setelah menebus tiket seharga tiga ribu rupiah, kami menuju tempat di bagian kiri sebelum gapura untuk memakai sarung. Sarung berwarna putih dengan corak hitam seperti yang terdapat di Candi Borobudur, Ratu Boko dan Prambanan. Sepertinya kebanyakan candi Hindu-Buddha di Jawa Tengah, di sini pengunjung juga harus memakai sarung, sebagai sebuah penghormatan. Hal tersebut dilakukan karena candi di Indonesia tidak hanya sebagai tempat wisata, tapi juga masih digunakan untuk bersembahyang pada hari-hari tertentu.

Teras sebelum puncak Candi Cetho
Teras sebelum puncak Candi Cetho

Candi Cetho merupakan sebuah candi Hindu yang dibuat sekitar tahun 1397 Saka atau abad ke 15. Kala itu, candi ini digunakan sebagai tempat untuk ruwatan, yaitu tempat untuk membebaskan diri dari kutukan. Hal ini terlihat dari simbol-simbol dan mitologi yang banyak terdapat pada arca-arcanya. Cerita Samudramanthana dan Garudeya menjadi penghantar mitos yang ada di candi ini.

Candi Cetho terletak di kaki Gunung Lawu, tepatnya di Desa Gumeng, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Untuk mencapai lokasi ini kita bisa menggunakan kendaraan pribadi dan bisa ditempuh kurang lebih satu setengah jam dari Solo. Karena letaknya yang berada di ketinggian 1496 mdpl, Candi Cetho mempunyai iklim yang cukup sejuk walaupun matahari bersinar sangat terik.

Arca yang ada di depan gapura
Arca yang ada di depan gapura

Selesai memakai sarung, kami menaiki anak tangga menuju area Candi Cetho. Sebuah arca berbentuk orang yang sedang duduk bersimpuh di letakkan di tingkat pertama dan kedua sebelum gapura pintu masuk. Tidak ada keterangan apakah arca termasuk merupakan penggambaran dewa atau hanya sebagai penjaga pintu masuk candi. Hanya sebuah banten atau sesajen dan dupa yang ditancapkan sebagai penghormatan.

Karena posisinya yang berada di lereng gunung, maka banyak sekali anak tangga yang terdapat di Candi Cetho. Karena hal itu juga, Candi Cetho memiliki beberapa level atau tingkatan. Di setiap tingkatan, kecuali tingkat pertama, kedua dan ketiga, terdapat sebuah gapura sebagai pintu masuk. Gapura tersebut hampir sama seperti gapura yang terdapat di depan, hanya saja lebih kecil. Saya menduga kalau setiap tingkatan memiliki arti tertentu. Kalau melihat fungsinya sebagai tempat ruwatan, bisa saja setiap tingkat berarti anak tangga menuju nirwana. Ditambah lagi, gunung merupakan tempat yang suci bagi umat Hindu. Namun, benar tidaknya, saya tidak tahu. Tidak ada penjelasan yang tertulis mengenai hal tersebut.

Komplek Candi Cetho merupakan tempat yang indah. Di teras pertama dan kedua, saya melihatnya lebih seperti taman karena tanahnya yang lapang dihiasi tanaman dengan bunga warna-warni. Udaranya yang sejuk membuat saya betah berlama-lama di sini. Ditambah lagi keadaaan lingkungan candi yang masih sepi pengunjung karena kami memang sengaja untuk datang pagi-pagi. Kebersihan tempat ini juga menjadi nilai plus tersendiri. Mungkin karena Candi Cetho juga menjadi tempat ibadah, sehingga kebersihannya juga dijaga dengan ketat. Entah apakah tempat ini dulunya juga seperti ini, atau malah lebih indah.

relief
Relief yang ada di Candi Cetho

Sama seperti candi pada umumnya, banyak arca bisa ditemui di Candi Cetho. Arca-arca yang dipahat di dinding batu candi atau menjadi patung yang berdiri sendiri. Arca menjadi bagian terpenting yang tidak bisa dipisahkan dan merupakan pembawa pesan orang-orang dari jaman dahulu kepada orang-orang jaman sekarang. Beberapa arca di teras kedua menarik perhatian saya. Sama halnya dengan arca-arca yang lain, arca ini terdiri dari batu yang disusun sedemikian rupa di atas tanah sehingga membentuk hewan garuda dan kura-kura. Namun, yang menarik adalah di ujung barat dari arca tersebut terdapat Arca Phallus (lingga yoni) yang dibuat menyerupai alat kelamin laki-laki dan diletakkan bersentuhan dengan arca yang berbentuk alat kelamin wanita. Kedua arca ini disatukan dengan bentuk garuda. Arca yang sama juga terdapat di salah satu tempat pemujaan di dekat tingkat tertinggi dari candi ini. Sepertinya kedua arca tersebut melambangkan kesuburan dan kesejahteraan.

Arca Garuda, Phallus dan Kura-kura
Bergaya di depan Arca Garuda dengan Arca Phallus di ujung barat dan Arca Kura-Kura di ujung timur

Setingkat di atas, terdapat dua pendopo yang cukup besar dan bisa digunakan sebagai tempat melepas lelah untuk para pengunjung. Pendopo yang lebih kecil terdapat di teras selanjutnya. Sedangkan di bagian puncak dari candi, terdapat bangunan trapesium yang besar. Ada sebuah gapura sebagai tempat masuknya. Tapi lebih kecil daripada gapura-gapura sebelumnya. Sebuah gembok mengunci rapat pintu masuk yang terbuat dari besi, menandakan hanya orang-orang tertentu yang boleh memasukinya.

Bangunan Trapesium yang ada di Puncak Candi Cetho
Bangunan Trapesium yang ada di Puncak Candi Cetho

Mentari mulai terik dan banyak orang berjejalan ketika kami akhirnya balik kanan dan memutuskan untuk meninggalkan Candi Cetho. Sayang sekali hingga akhir saya tak bisa melihat proses ruwatan di sini, yang banyak hanya orang-orang selfie.

Sepasang muda-mudi yang sedang selfie
Sepasang muda-mudi yang sedang selfie 

***

Cerita Samudramantha berkisah mengenai taruhan kedua istri Kasyapa, yaitu Kadru dan Winata mengenai pengadukan lautan susu untuk mencari air amarta atau air kehidupan. Kadru bertaruh ekor kuda pembawa air amarta berwarna hitam, sedangkan Winata menebak putih. Di akhir cerita, Kadru memenangkan taruhan tersebut setelah berlaku curang. Sedangkan Winata, sebagai pihak yang kalah taruhan, berakhir menjadi budak Kadru.

Sedangkan cerita Garudeya merupakan lanjutan dari cerita Samudramantha yang berkisah tentang pembebasan Winata oleh anaknya, Garudeya. Garudeya meminta anak-anak Kadru yang berwujud ular untuk membebaskan ibunya. Permintaan itu bisa dikabulkan hanya jika Garudeya dapat membawa air amarta. Karena cintanya kepada sang ibu, Garudeya akhirnya pergi ke tempat penyimpanan air amarta yang dijaga oleh para dewa. Di akhir cerita, Winata berhasil dibebaskan oleh Garudeya.

1 Comment

Comments are closed.