Rupa Senja Tanjung Kesirat

Sunset di Tanjung Kesirat
Sang fajar berwarna merah merekah akan kembali ke peraduan (dok.pri)

Mentari sudah mulai tergelincir ke barat menuju peraduan tanda senja akan segera datang. Warna kuning kemerahan terlihat di atas garis cakrawala bercampur dengan warna biru di angkasa. Rentetan pujian dituturkan disusul dengan pertanyaan kapan sampai di tempat tujuan. Tak sabar rasanya ingin segera sampai dan menyaksikannya hilang di peraduan.

Pedal gas diinjak dan mesin mobil menderu. Kencang mobil kami melaju. Berpacu dengan waktu karena senja tak mau menunggu. Kami cemas dan takut kalau-kalau kami kalah dari waktu. Namun segera saja kami tepis rasa itu. Ingatan dan perkiraan menjadi satu-satunya petunjuk kami menuju Tanjung Kesirat. Itu adalah kali pertama saya mendengarnya. Menurut seorang teman, ini lah salah satu tempat terbaik di Gunung Kidul untuk melihat matahari meluncur menghilang.

Matahari Tenggelam di Tanjung Kesirat
Mentari mengintip dari sela pohon (dok.pri.)

Raut muka cemas kami berubah gembira saat melihat sebuah papan petunjuk kecil bertuliskan Tanjung Kesirat di sebelah gang kecil yang muat untuk satu mobil. Petunjuk tersebut memberi harapan bahwa kami masih diberi kesempatan untuk menyaksikan mentari kembali ke peraduan. Sekitar lima puluh meter setelah memasuki gang kecil tersebut, dua orang penjaga pos berumur belasan menghentikan mobil kami. Lima ribu rupiah harga tiket yang harus kami bayar untuk satu mobil dengan enam penumpang. Kelak kami tau, harga tersebut cukup murah untuk pemandangan spektakuler yang ditawarkan.

Kami mengikuti jalur satu-satunya menuju Tanjung Kesirat masih dengan perasaan cemas karena mentari sudah semakin tak sabar untuk menutup hari. Mobil kami bergoncang di atas jalan yang sengaja dibuat membentuk dua lajur selebar jarak roda mobil. Sunset menjadi prioritas utama. Jadi tak heran kalau teman saya tetap saja memacu mobil di atas jalan yang tak rata. Kami berlompatan di dalam mobil karena goncangan. Rasanya seperti sedang berada di sebuah ruangan simulasi gempa.

Seorang teman sedang melakukan L sit di pohon
Seorang teman sedang mencoba L-sit di pohon (dok.pri.)

Perjalanan dari pos tiket menuju ke Tanjung Kesirat terasa lebih lama daripada saat dari Pantai Sadeng menuju ke sini. Sepertinya posisi matahari yang perlahan mendekati cakrawala dan ketidaktahuan kami tentang jarak telah dengan sukses memberi sugesti kalau waktu berlalu sangat cepat. Kelak kami tahu kalau jarak dari jalan utama ke Tanjung Kesirat hanya 2-3 km saja dan hanya perlu waktu kurang dari 10 menit untuk sampai di tujuan.

Begitu tiba, kami langsung disapa angin laut yang berhembus lembut membawa serta uap air laut. Hentakan deburan ombak menabrak karang menjadi satu-satunya musik alam yang membahana. Tanpa komando kami langsung berlari menuju spot terbaik untuk mengabadikan senja yang di nanti. Rasa lega membuncah di dada karena matahari masih berbaik hati menunggu kehadiran kami. Walau sebentar, kami tetap bisa mengubah senja ke dalam bentuk digital.

Tanjung Kesirat memiliki sebuah pohon yang cukup ikonik. Pohon tersebut tumbuh di bagian sisi tebing. Seolah dengan sombong mengisyaratkan bahwa dia mampu berdiri di sisi tebing tanpa takut akan jatuh ke laut.

teluk Tanjung Kesirat
Bagian teluk dari Tanjung Kesirat yang berbentuk U (dok.pri)

Di sisi lain, Tanjung Kesirat memiliki sisi tebing seperti teluk berbentuk U yang menjorok ke dalam dengan gundukan kecil di ujung satunya. Di dalam teluk ombak datang silih berganti mencakar-cakar sisi tebing. Seketika ombak membuncah ke angkasa dan pecah menjadi butiran-butiran lalu kembali ke laut dan sisanya terbang dibawa angin. Dari sisi lain tebing saya menikmati pertunjukan alam ini.

Saya sungguh terpesona dengan tempat ini. Ditambah lagi masih sangat alami dan sepi. Hanya ada beberapa anak muda yang datang sebelum kami. Tak satu pun saya menjumpai penjual makanan di sini. Tak juga listrik menjamah tempat ini. Ah, tempat apa ini. Jangan ke sini kalau hanya ingin mengotori!

1 Comment

Comments are closed.