Mengejar Sunset di Sumurup

“Summer is coming,” begitu pikir saya saat melihat matahari yang sudah mulai rutin menyinari bumi Salatiga beberapa hari belakangan. Hujan deras yang mengguyur Salatiga minggu sebelumnya seperti sebuah sisa-sisa yang memang harus ditumpahkan. Dalam angan liar saya, matahari mulai jengah menunggu giliran untuk tampil sehingga dengan tak sabar memaksa hujan untuk segera menyelesaikan tugasnya. Dengan begitu matahari bisa dengan leluasa menyebarkan sinarnya tanpa halangan awan hitam yang biasanya sudah apel sejak pagi hingga petang.

Sebelumnya matahari memang sering bersinar, tapi hanya separuh hari saja dan setengah hari sisanya diisi dengan tumpahan air dari angkasa. Maka sunrise menjadi satu satunya yang saya cari setiap pagi. Namun sekarang matahari mulai mendominasi yang berarti ada tambahan lain yang saya cari, sunset.

Gubuk yang biasa digunakan petani beristirahat

Salatiga dan sekitarnya memiliki alam yang tak kalah indah dari tempat-tempat lain di Indonesia. Rawa Pening adalah salah satunya. Banyak orang hanya tahu Rawa Pening yang terkenal dengan cerita legendanya, Baru Klinthing. Atau mereka lebih mengenal Rawa Pening sebagai tempat untuk memancing ikan. Rawa Pening adalah tempat yang luar biasa indah, namun untungnya belum banyak orang yang mengetahuinya. Bayangkan seperti apa ramainya kalau semua orang tahu keindahannya. Pikirkan juga sampah yang akan berserakan. Belum termasuk dengan rusaknya lingkungan karena semua berebut mengambil foto selfie atau groufie.

(Baca juga: Indonesia Mini Bernama Salatiga)

Hari itu mentari bersinar cerah, menghangatkan Salatiga yang sempat dingin. Langit berwarna biru muda dengan sedikit hiasan awan putih yang menggantung di kiri dan kanan. Hari yang indah untuk kembali berburu sunset. Mencoba kembali peruntungan mengabadikan sunset yang sebelumnya sempat gagal.

Mentari masih saja bersembunyi di balik awan

Beberapa hari sebelumnya saya ke Gua Rong untuk melihat sunset. Sayangnya walau sudah memacu motor hingga mesin menjerit-jerit tetap saja saya terlambat. Hanya sisa-sisa saja yang saya dapatkan. Mendung juga sepertinya belum sepenuhnya rela untuk pergi. Buktinya dia masih saja menjadi tirai saat matahari mulai bergeser ke barat, menutupi momen sunset yang saya incar. Rasanya seperti mendapat pesan dengan tulisan “Anda belum beruntung, coba lagi di kemudian hari” yang sering ditemukan di dalam jajanan berhadiah.

Sore itu awan kembali bergelanyut membuat Raja Langit seolah sedang bermain petak umpet, sebentar terlihat, sebentar sembunyi. Namun hal tersebut tak menyurutkan niat Ucil mengajak saya untuk hunting sunset di tempat favoritnya. Awalnya saya pesimis mendapatkan sunset yang bagus ketika melihat awan yang menggantung, tapi saya kembali bersemangat ketika mendengar apa yang dikatakannya, “… kita tak tahu apa yang akan terjadi setengah jam depan…” Entah roh kuburan mana yang merasukinya sehingga dia tiba-tiba menjadi bijak.

Petani memanen batang enceng gondok yang akan dikeringkan

Kami tiba di sebuah jalan kecil di sebuah desa yang tak jauh dari jalan raya. Walaupun dekat dengan jalan raya, tempat ini tidak bising dan berpolusi. Saya jadi teringat dengan Hutan Bakau di Bali yang seolah-olah bisa meredam kebisingan. Bedanya tidak ada hutan bakau di sini, tapi sawah. Hamparan sawah hijau sejauh mata memandang dengan Gunung Ungaran di garis horison dan Rawa Pening di tengahnya, sebagai pembatas antara sawah dan gunung. Para petani sibuk mengusir burung-burung pipit yang sesekali hinggap di padi, mengambil beberapa butir gabah sebagai camilan di sore hari.

Matahari masih saja berada di belakang awan, hanya sorotan cahayanya yang kadang mengintip dari sela-sela awan. Semburat merah kekuningan berpadu dengan birunya gunung di bawahnya berpadu apik dengan warna hijau daun padi. Langsung saja kami mengeluarkan kamera, mengabadikan suasana.

Pemilik perahu menyusun perahu-perahunya yang sudah selesai dipakai penyewa

Sunset masih lama, kami memutuskan untuk berpindah, mencari tempat lain yang tepat untuk mengambil foto. Kami menyusuri sungai mendekati rawa, melewati para petani yang sedang mengumpulkan batang enceng gondok yang nantinya akan dijemur dan setelah kering dijual dengan harga Rp3.000 per kilonya. Batang enceng gondok yang kering tersebut nantinya bisa dianyam menjadi berbagai barang. Salah satu contohnya adalah tas tangan.

Awan masih saja enggan untuk membagi keindahan matahari yang mulai memerah. Kami mencoba pindah lagi menuju Sumurup. Sumurup merupakan sebuah tempat di salah satu bagian dari Rawa Pening. Sumurup tak hanya terkenal di kalangan para pemancing, tapi juga merupakan salah satu tempat favorit untuk melihat sunset sambil duduk di atas rel kereta api yang lama tak terpakai. Dari tempat ini biasanya matahari yang terbenam terlihat sangat bulat dengan warna merah menyala. Air rawa memantulkan sinar kemerahan mentari senja membuatnya tampak semakin luar biasa indah. Itulah alasan kami mengejar sunset sampai Sumurup.

Suasana Sumurup di sore hari

Kami berlari tunggang langgang di antara pepohonan setelah memarkir motor untuk mengejar mentari yang sepintas keluar dari tempat persembunyiannya. Bulatan merah menyala menggantung di ufuk barat. Dengan cekatan saya mengeluarkan mini tripod dan handphone untuk mengambil video. Baru saja saya selesai menyeting semuanya, matahari kembali tertutup awan. Tak disangka di bagian bawah terdapat awan, padahal sebelumnya kami mengira tidak ada awan di bagian garis cakrawala. Ternyata awan tersebut berwarna sama dengan langit sore itu. Alhasil kami tak mendapatkan sunset sore itu. Ah, kami memang belum beruntung. Alam memang selalu punya kejutan dengan caranya sendiri.

2 Comments

Comments are closed.