Pink Beach – Pantai Berpasir Merah Muda di Lombok

Hanya ada dua warna pasir pantai yang saya tahu, hitam dan putih. Warna hitam pada pasir bisa berarti tidak ada koral yang hidup di sekitar perairan tersebut. Sebaliknya, warna putih berarti banyak batuan koral yang hidup di sekitar perairan tersebut. Saya tetap percaya itu sampai seorang teman memberitahu kalau di suatu tempat di Lombok ada pantai yang warna pasirnya tidak hitam atau putih, tapi merah muda. Karena itu pantai tersebut mendapat nama Pink Beach.

Pink Beach terletak di sebelah timur Pulau Lombok. Dari Mataram, tempat ini bisa dicapai menggunakan motor atau mobil dengan lama tempuh sekitar 2-3 jam. Selama perjalanan menuju ke Lombok Timur, jalanan terlihat bagus. Hanya ada beberapa jalan yang cukup jelek tapi tidak parah. Pun tidak terlalu panjang. Tidak ada plang yang menunjukkan arah ke pink beach karena memang belum terkenal. Lupakan google map karena signal di sini cukup buruk. Jalan satu-satunya adalah bertanya kepada penduduk lokal walaupun beberapa orang yang kami temui sempat mengerutkan dahi saat kami menanyakan arah ke Pink Beach.

Setelah beberapa kali salah jalan, akhirnya kami berada di jalan yang tepat. Di pertigaan itulah kami melihat petunjuk jalan yang mengarahkan kami ke pink beach untuk pertama kalinya. Papan itu dicat warna pink dan bertuliskan pink. Itu saja. Saat melewati tikungan terakhir itu, kami berpikir kalau perjalanan tidak jauh lagi. Kami kira akan melihat hamparan pasir berwarna merah muda dengan segera. Ternyata kami keliru. Kami masih harus melewati jalan tanah dan tak beraspal mulus sepanjang kurang lebih 10 km yang kami tempuh selama 1 jam. Untungnya mendekati tujuan akhir jalan kami sedikit mulus.

Jalan menuju Pink Beach

Selama perjalanan, kami berdoa semoga motor yang kami kendarai tidak bermasalah. Indikator bensin yang berkedip-kedip membuat kami semakin khawatir. Beberapa kali kami berhenti dan bertanya kepada penduduk sekitar di mana kami bisa membeli bensin, tapi saat kami menghampiri tempat yang ditunjuk, tempat itu kosong tidak ada orang. Sampai akhirnya kami menemukan sebuah warung di tengah hutan yang menjual bensin eceran. Harganya memang sedikit mahal daripada harga di kota, tapi bagi kami lebih baik mahal sedikit daripada harus mendorong motor karena kehabisan bensin.

Sebenarnya jalan menuju Pink Beach pernah diaspal. Hal itu terlihat dari sisa-sisa aspal di jalan yang kami lewati. Beberapa orang lokal yang saya tanya membenarkan pendapat saya. Mereka bilang kalau pengaspalan jalan itu pernah ada, tapi sudah lama sekali. Terakhir kali diaspal sekitar 30 tahun yang lalu, yaitu tahun 1985. Saya merasa kasihan dan senang di saat bersamaan. Saya kasihan dengan penduduk lokal yang mendapatkan akses jalan yang buruk, tapi senang karena itu membuat Pink Beach tidak ramai di kunjungi.

Sejenak kami sedikit ragu ketika ujung jalan tidak kunjung terlihat. Kami melewati pohon-pohon yang besar dan rimbun seperti perkebunan karet. Banyak sekali monyet yang berkeliaran di sekitar jalan yang kami lalui. Mereka terlihat bergerombol sambil mencari makan. Hutan yang sepi orang dan pepohonan yang tinggi dan lebat memang tempat yang cocok untuk habitat monyet. Kami baru merasa lega ketika melihat plang terakhir bertuliskan Pink Beach 2 km. Berarti perjalanan semakin dekat.

Jalan menuju Pink Beach

Kami berhenti di dekat sebuah gubuk kayu kecil seperti gubuk poskamling di pinggir jalan di tengah hutan rimba. Hanya ada dua pemuda yang berjaga di sana. Mereka memberitahu kami bahwa kami sudah berada di pink beach dan gubuk itu lah yang digunakan sebagai loket untuk membeli karcis masuk. Setelah membayar karcis, kami lalu jalan kaki menuruni jalanan berbatu koral menuju pantai. Kami memutuskan untuk meninggalkan motor kami di dekat loket masuk mengingat jalannya yang tidak bersahabat sama sekali. Bahkan untuk jalan kaki saja saya harus berhati-hati agar tidak terkena batu yang berserakan. Kami sudah tidak sabar untuk menjejalkan kaki kami di dalam pasir pantai, merasakan dinginnya air laut menyentuh kaki kami setelah perjalanan panjang dari Bali. Laut biru yang tampak membentang di tengah rimbun  dedaunan di hadapan kami semakin membuat kami mempercepat langkah. Tidak sampai sepuluh menit akhirnya kami menghadap laut luas tak berbatas.

Konon, warna merah muda didapat karena terumbu karang yang berwarna merah muda hidup di perairan tersebut. Serpihan dari terumbu karang itu terbawa ombak dan bercampur dengan pasir yang akhirnya membuatnya tampak berwarna merah muda. Pasirnya pun sangat lembut. Sangat menyenangkan berjalan di pasir dengan kaki telanjang dengan sesekali membenamkannya di balik pasir. Saya rasa itu adalah pasir pantai terlembut yang selama ini pernah saya temui. Di Bali pun saya belum pernah menemukan pasir serupa. Mulai dari warna hingga bentuknya.

Gubuk di sekitar Pink Beach

Pantai ini sangat tenang dan sepi. Waktu kami tiba, hanya ada beberapa rombongan orang lokal datang dan dua orang bule yang sedang berjemur. Pun begitu sudah ada beberapa warung yang berdiri di bibir pantai. Orang-orang pun ramah sekali. Ada orang lokal yang mendatangi kami dan menawarkan untuk snorkeling dan main ke pulau di dekat Pink Beach. Hanya dengan membayar 50 ribu, kami bisa snorkeling sepuasnya. Bapak yang menawari kami snorkeling bilang kalau ada bibir pantai yang warna merah mudanya lebih jelas daripada yang kami datangi. Dia juga yang memberitahu kami kalau koral di sana berwarna merah muda. Sebenarnya air liur saya sudah menetes untuk mencoba snorkeling di sana. Apalagi harga yang ditawarkan tergolong murah. Sayangnya karena kondisi badan yang capek dan belum tidur, ditambah sore itu saya harus menyebrang ke Gili Trawangan, mengharuskan kami menolak tawaran manis itu.

Tempat ini sangat cocok untuk berkemah karena kondisinya yang sepi dan nyaman. Air laut sangat tenang sehingga sangat cocok untuk berenang dan snorkeling. Tak jauh dari pantai juga ada sumur berisi air tawar, sehingga kita tak perlu takut kehabisan air untuk minum dan mandi. Tapi saat malam, kita diharuskan waspada karena terkadang banyak monyet turun ke pantai, begitu yang kami dengar dari orang lokal yang kami jumpai.

Di sebelah kiri, ada sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi. Dari sini kita bisa melihat laut luas menghampar di depan pink beach dan beberapa pulau terdekat. Di bukit ini juga ada sebuah gubuk untuk berteduh dari panas yang menyengat. Sungguh tempat yang menyenangkan untuk sekadar bersantai sambil menikmati belaian angin laut. Berada sebentar saja di sini sudah cukup membuat kantuk saya datang. Ingin rasanya merebahkan tubuh sejenak kalau saja saya tidak teringat bahwa perjalanan saya masih panjang. Tidak ingin tertinggal kapal terakhir menuju Gili Trawangan, kami memutuskan untuk meninggalkan surga merah muda yang tersembuyi. Mungkin kelak kami akan kembali.

Langit biru dan air yang tenang di Pink Beach