Menanti Sang Surya di Masjid Agung Jawa Tengah

Jam empat lebih sepuluh menit kami berdua berboncengan memacu sepeda motor dari Stasiun Tawang menuju Masjid Agung Jawa Tengah di Jalan Gajah Raya, Kecamatan Gayamsari, Semarang. Langit gelap dengan hiasan bintang-bintang masih menyelimuti Kota Semarang. Terangnya lampu jalanan mengeliminasi bintang-bintang yang redup, menyisakan bintang dengan pijar paling terang. Sejalan dengan langit pagi itu, jalanan juga tampak lengang dan sepi. Hanya beberapa mobil dan motor yang sesekali melintas. Udara pagi masih terasa segar, belum bercampur dengan asap dari knalpot kendaraan, walau tetap saja tidak sedingin Salatiga. Keadaan ini dikarenakan Kota Semarang memiliki posisi yang lebih rendah dibanding Salatiga.

Masjid Agung Jawa Tengah adalah masjid yang baru didirikan tahun 2002 dan baru selesai dibangun tahun 2006. Sudah hampir sembilan tahun masjid ini berdiri sejak diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 14 November 2006. Masjid ini merupakan sebuah “tetenger” kembalinya tanah wakaf bondo Masjid Besar Kauman Semarang. Dibutuhkan perjuangan panjang untuk mendapatkan kembali tanah wakaf ini setelah beberapa kali berpindah tangan. Sekarang masjid ini menjadi sebuah ikon bagi Provinsi Jawa Tengah.

Tidak sulit untuk menemukan Masjid Agung Jawa Tengah. Towernya yang menjulang tinggi terlihat mengintip dari kejauhan. Saya semakin bersemangat memacu kendaraan. Tidak sampai lima menit saya sudah memasuki pelataran masjid. Saya memarkir motor di sudut parkiran di bawah lampu jalan. Suasananya benar-benar seperti dalam film horror. Situasinya benar-benar sepi, hanya ada kami berdua dan motor saya di tempat itu. Suara adzan subuh sayup-sayup terdengar dari tempat saya memarkir motor. Alih-alih mendengar suara adzan yang lantang seperti mushola di dekat rumah, saya mendengar suara adzan yang serak, pelan dan agak susah untuk dikenali. Saya sedikit merasa kecewa karena untuk ukuran masjid yang menjadi ikon Jawa Tengah, suara adzannya tidak maksimal. Padahal adzan digunakan untuk memanggil setiap muslim agar melaksanakan rukun islam ke 2, mendirikan salat. Apakah pihak masjid takut mengganggu masyarakat sekitar yang non muslim? Bagaimana bisa mengganggu masyarakat sekitar masjid kalau bahkan suara adzan tidak bisa didengar dengan jelas dari tempat saya memarkir sepeda motor. Bukankah Islam sudah berkembang sangat lama sekali di Indonesia khususnya Semarang? Dengan toleransi yang terbangun selama ini, saya rasa siapa pun bisa memakluminya. Jadi menurut saya tidak apa-apa untuk sedikit mengeraskan volume agar bisa didengar oleh masyarakat di sekitar area masjid.

Tower Al-Husna

Sebagai ikon Jawa Tengah, Masjid Agung Jawa Tengah memiliki luas area sekitar 1 hektar. Dari tempat parkir sepeda motor, kami masih harus menaiki tangga dan melewati pelataran yang luas untuk sampai di bangunan utama. Tower yang tadinya terlihat mengintip kini berdiri tegak di depan kami. Saya sampai harus mendongak ke atas untuk bisa melihat puncak tower yang memiliki tinggi 99 meter ini. Tower ini memiliki nama Al-Husna yang di dalamnya terdapat 19 lantai. Lantai pertama digunakan sebagai tempat penyiaran radio dan lantai kedua digunakan sebagai museum yang menunjukkan perkembangan Islam di Jawa Tengah. Capek berkeliling museum di lantai dua, kita bisa langsung menuju ke lantai 19 untuk melihat Kota Semarang dari atas tower. Tentu saja fasilitas ini tidak gratis, kita harus membeli tiket dulu untuk bisa menikmati pemandangan Kota Semarang dari gardu pandang. Setelah membayar tiket, pengunjung bisa naik ke atas lewat lift. Sayangnya saya tidak bisa menggunakan fasilitas ini karena loketnya belum buka.

Di ujung tangga sebelum pelataran masjid, kami disambut dengan pilar-pilar besar yang tinggi dengan hiasan kaligrafi dua kalimat syahadat dan 25 nama nabi dan rosul yang melekat memanjang dibagian atas. Pilar-pilar yang berjajar membentuk setengah lingkaran. Warna ungu terlihat mendominasi pilar-pilar dan tulisan kaligrafi berpadu dengan warna krem. Warna keemasan tampil mengkilat dibagian ujung pilar penyangga. Lengkungan kecil di bawah kaligrafi yang memanjang membuatnya tampak lebih indah. Di sini saya merasa seperti sedang memasuki koloseum Romawi.  

Tulisan kaligrafi dua kalimat syahadat dan 25 nama nabi dan rasul

Saya bergegas menuju ruang wudhu yang ada di lantai pertama setelah melewati pelataran masjid yang luas. Di pelataran itu berdiri tegak semacam pilar sebanyak 6 buah dengan masjid berkubah putih besar di bagian tengah ujung. Pilar-pilar itu tidak cuma hiasan, tapi juga berfungsi sebagai payung. Hanya di hari Jumat payung-payung itu akan terbuka secara otomatis karena jumlah orang yang akan salat lebih banyak dari hari-hari biasanya dan orang yang salat Jumat biasanya meluap sampai di pelataran. Kalau tidak ada payung-payung ini, bisa dipastikan kulit orang yang salat di pelataran masjid akan terbakar matahari. Payung-payung otomatis ini tak pelak menambahkan kesan futuristik pada Masjid Agung Jawa Tengah. Dan kalau tidak salah (kalau salah maafkan saya) payung-payung otomatis yang sama terdapat di salah satu masjid di Madinah. Semoga kelak saya bisa berkunjung ke sana untuk melihatnya.

Setelah dikecewakan dengan suara adzan yang tidak lantang, saya kembali kecewa dengan air keran yang tidak mengalir lancar. Dari puluhan keran yang berjajar rapi di sepanjang tempat berwudhu, hanya satu keran yang mengalirkan air. Airnya pun mengalir kecil sekali. Air adalah kebutuhan yang paling penting untuk bersuci sebelum salat dan sangat disayangkan pihak pengurus masjid tidak mengantisipasi hal ini. Saya tidak mengerti kenapa Masjid Agung Jawa Tengah bisa kehabisan air untuk berwudhu. Sayangnya saya juga tidak melihat ada tandon air terletak di sekitar masjid. Untuk tempat wudhu, saya lebih suka dengan tempat wudhu di Masjid Demak di mana terdapat kolam besar berisi air di tengah. Kolam besar ini berfungsi sebagai tandon air untuk saat-saat di mana terjadi krisis air.

Saat memasuki area dalam masjid, saya disambut dengan sebuah Al-Qur’an yang besar terletak di depan pintu masuk masjid. Al-Qur’an yang memiliki ukuran 145 cm x 95 cm tersebut diletakkan di dalam sebuah kaca dan diberi garis pengaman agar tidak disentuh orang-orang yang berkunjung. Di sampingnya terdapat sebuah peti dari kayu dengan ukiran kaligrafi di atasnya. Peti ini digunakan sebagai tempat penyimpanan kitab suci umat Islam tersebut. Al-Qur’an yang luar biasa besar ini ditulis oleh Drs. Hayat dari Universitas Sains Al-Qur’an (Unsiq), Wonosobo, Jawa Tengah. Penulisannya pun tidak singkat, dibutuhkan waktu dua tahun dan tiga bulan untuk menyelesaikannya.

Al-Qur’an berukuran 145 cm x 95 cm

Selesai salat subuh saya tidak langsung pulang. Di samping badan masih cukup lelah setelah perjalanan dari Salatiga, kami memutuskan untuk menikmati sebentar suasana pagi di tangga pelataran masjid. Saat itulah saya tiba-tiba teringat untuk mengecek arah mata angin dan cukup terkejut mendapati kami duduk menghadap timur. Itu artinya bahwa kami bisa menyaksikan matahari terbit hanya dari tempat kami duduk. Kami pun semakin enggan untuk beranjak dan menjadi tak sabar untuk segera melihat sang surya keluar dari sarangnya.

Warna gelap yang semula mendominasi sekarang sudah berganti menjadi lebih terang. Warna gelap itu merangkak menjauh ke arah barat. Mereka seakan tau bahwa sudah waktunya untuk berpindah, menaungi sisi lain bumi di mana orang-orang ingin terlelap dalam buaian malam. Langit perlahan-lahan berubah menjadi biru dan kemerahan. Awan abu-abu dan putih yang menggantung berganti menjadi merah muda seperti seekor bunglon yang bisa berubah warna seketika.

Langit yang memerah pertanda Sang Surya akan menampakkan diri

Cakrawala semakin memerah, tanda sang surya akan segera merangkak keluar. Burung-burung pun sudah mulai terbang keluar dari sarang, tak ingin ketinggalan menyaksikan kemunculan sang penguasa fajar. Kicauan terdengar di sela-sela kepakayan sayap kecilnya, seolah-olah bernyanyi dalam suka cita. Kami menaiki pagar setinggi satu meter untuk bisa melihat lebih jelas kemunculan sang surya yang sebelumnya sedikit terhalang oleh tingginya pepohonan.Dari batas pandangan kami terlihat sebentuk lingkaran merah sempurna yang mulai merekah, pelan tapi pasti bergerak ke atas. Dia lah yang kami tunggu, Sang Surya penguasa fajar. Kehadirannya selalu ditunggu tak hanya makhluk berkaki dua seperti kami, tapi juga makhluk berkaki banyak atau bahkan yang tak berkaki. Dia selalu memancarkan kehangatan dalam setiap kemunculannya di pagi hari. Tak heran suku-suku jaman dahulu menyembah sang surya laksana dewa.

Saya terdiam, larut dalam suasana senang, kagum dan berterimakasih. Dalam hati saya melafalkan pujian untuk Tuhan yang memberikan kesempatan untuk bisa melihat sunrise seindah ini. Bahkan sunrise di atas Gunung Andong kalah bagus dibandingkan dengan sunrise pagi itu. Pernah saya melihat matahari bulat merah menyala seperti itu, tapi bukan sunrise melainkan sunset di Pantai Balangan, Bali. Ini pertama kalinya saya melihat sunrise dari pelataran masjid dengan penampakannya yang luar biasa indah. Tertarik melihat?

Sang Surya keluar dari sarangnya