Ngopi di Gunung Andong

Gunung Andong

Berdiri di puncak gunung dan menyaksikan matahari terbit di ufuk timur selalu menjadi impian para pendaki gunung. Begitu juga dengan saya. Untuk bisa menyaksikan sang fajar yang keluar dari sarangnya, pendakian selalu dimulai di malam hari. Senter menjadi modal utama penerang jalan. Paling enak sih kalau naik gunung pas bulan purnama, cahaya bulan bisa menjadi penerang jalan alami. Lumayan buat menghemat baterai senter. Namun cuaca akan lebih dingin dibandingkan saat bulan sedang bersembunyi. Solusinya siapkan saja jaket yang tebal untuk menghalau dingin malam.

Gunung Andong akhir-akhir ini sedang menjadi perbincangan di antara para pendaki. Gunung ini terletak tidak jauh dari Gunung Merbabu. Tingginya hanya 1726 mdpl. Dengan ketinggian seperti itu, gunung ini cocok untuk para pendaki pemula yang ingin menjajal mendaki gunung. Walaupun tidak begitu tinggi, jangan coba-coba meremehkan gunung ini. Jalan menuju puncak cukup terjal dan menantang. Jarang sekali ada bonus track (sebutan untuk jalan datar) di sini. Tak perlu waktu lama untuk menaklukkan gunung yang punya dua puncak dan satu makam ini. Normalnya hanya dibutuhkan waktu sekitar satu sampai satu setengah jam untuk menaklukkan Gunung Andong.

Kami tiba di base camp Gunung Andong sekitar pukul 11 siang. Suasana base camp cukup ramai siang itu. Beberapa dari mereka ingin merayakan Valentine’s Day di Gunung Andong. Dan yang lain hanya ingin menghabiskan akhir minggu di sana seperti saya dan teman-teman. Di base camp, para calon pendaki wajib membayar tiket seharga tiga ribu rupiah per orang dan menulis nama di buku tamu.

Selfie dulu sebelum naik Gunung Andong
Selfie dulu sebelum naik Gunung Andong

Naik gunung selalu memakai identik dengan jaket tebal, tapi tidak dengan pendakian kali ini. Saya hanya memakai kaos tipis karena kami mendaki pada siang hari. Untunglah cuaca kemarin sedikit mendung jadi kami terlindung dari sengatan sinar matahari. Kami pun juga hanya menggendong tas backpack kecil yang berisi perbekalan makanan dan minuman. Kami tidak berencana untuk menginap di sini. Menikmati kopi sambil melihat pemandangan dari puncak menjadi tujuan utama kami. Itu lah mengapa kami tidak membawa tas backpack besar seperti yang dibawa oleh para pendaki lainnya. Saya bisa melihat pandangan kaget mereka ketika melihat kami berempat yang sangat santai dengan celana pendek sambil menggendong tas kecil dan berkacamata hitam, seolah kami akan pergi ke pantai.

Dari base camp, kita bisa langsung berjalan menuju Gunung Andong yang tampak menjulang di depan kita. Puncaknya pun terlihat cukup jelas. Kalau kalian membawa teropong, kalian bahkan bisa melihat orang-orang yang sedang berjalan-jalan di puncaknya. Saya melakukan peregangan otot sebelum memulai langkah agar otot kaki saya tidak kram. Dari awal perjalanan kami dihadapkan dengan track menanjak yang panjang hingga akhir hutan pinus. Ternyata keputusan untuk melakukan pemanasan memang tepat.

Menuju puncak Gunung Andong
Puncak lewat sini

Ini kali pertama saya naik gunung di siang hari. Sebelumnya saya selalu naik gunung di malam hari. Sensasinya pun jauh berbeda. Kalau malam hari, suasana begitu sunyi dan kita hanya bisa melihat jalan setapak di depan kita. Hanya saat bulan purnama kita bisa melihat dengan jelas pemandangan sekitar gunung. Mendaki di siang hari membuat kami bisa menikmati pemandangan hutan pinus yang terletak di kaki Gunung Andong. Kami pun bisa dengan leluasa mengambil foto sambil tetap fokus berjalan menuju ke atas gunung. Sesekali kami berhenti hanya untuk melihat Gunung Merbabu yang angkuh menjulang di belakang kami. Gunung Merbabu terlihat sangat berbeda dari biasanya. Yang terlihat dari Gunung Andong adalah sisi bagian utara Merbabu. Sedangkan yang saya lihat setiap hari dari Salatiga adalah sisi selatan Gunung Merbabu. Di bawah kaki Gunung Andong kami bisa dengan jelas melihat pertanian yang menghampar luas. Terlihat petak-petak tanda batas seperti pematang sawah. Kota-kota di kaki gunung tak ubahnya seperti miniatur yang ditata dalam sebuah maket. Tak henti-hentinya saya mengagumi keindahan pemandangan itu. Kelelahan pun seolah lenyap menguap.

Istirahat dulu sambil mengatur nafas
Istirahat dulu sambil mengatur nafas 

Perjalanan itu tak memakan waktu lama, sekitar setengah jam kemudian kami sudah berada di hampir tiga perempat jalan menuju puncak. Kami beristirahat sebentar ketika suara adzan dari masjid terdekat berkumandang. Begitu adzan selesai, kami langsung tancap gas lagi menuju pos berikutnya. Di pos batu, begitu teman saya menyebutnya, kami berhenti lumayan lama untuk berfoto dan mengatur nafas sebelum memulai tanjakan terakhir. Di titik ini halimun sudah mulai turun, udara sudah semakin tipis. Saya mencoba mengatur nafas saat mendaki tanjakan terakhir. Sebenarnya bisa saja kami lewat jalan memutar hanya saja kami tak sabar untuk sampai ke puncak dan akhirnya mengambil shortcut menuju puncak.

Batu Wayang Gunung Andong

Mungkin saya sedang beruntung kali itu, saya melihat tanaman anggrek gunung di sepanjang tanjakan terakhir yang kami lewati. Teman saya bilang anggrek tersebut sekarang sudah langka. Sangat susah untuk menemukan anggrek tersebut di gunung yang memang habitat aslinya. Mungkin karena banyak gunung yang sekarang kotor dan sering terjadi kebakaran seperti Gunung Merbabu. Untungnya Gunung Andong ini masih bersih, walau kadang saya menemukan beberapa bungkus plastik atau botol air mineral yang dibuang sembarangan. Entah karena Gunung Andong ini baru saja populer jadi masih tergolong bersih, atau mungkin karena para pendaki mulai sadar untuk menjaga kebersihan gunung dan membawa kembali sampah plastik mereka.

Akhirnya sekitar jam setengah 1 kami tiba di puncak. Puncaknya berupa tanah lapang yang cukup luas. Tak jauh ada satu tenda yang masih berdiri. Selain itu kami hanya menjumpai beberapa orang di sini. Teman saya bilang, kalau hari minggu ada sebuah warung yang buka di puncak Gunung Andong. Awalnya saya kira dia bercanda sampai saya melihat warung besar tak jauh dari tempat saya berdiri. Perut sudah keroncongan. Langsung saja kami mengeluarkan semua perbekalan kami. Teman saya dengan sigap menyiapkan kompor untuk memasak air. Kopi adalah minum pertama yang wajib dibuat. Selanjutnya mie instan untuk mengganjal perut-perut yang sudah keroncongan. Selesai minum kopi dan menyantap mie instan, teman saya membuatkan kami sebuah minuman lagi. Minuman ini cukup unik. Baru pertama saya mencobanya dan saya langsung suka. Nama minuman ini adalah nutrisari tolak angin. Ya, sekali lagi, nutrisari tolak angin. Pernah mencobanya? Cobalah dan pasti kalian suka. Rasanya sedikit kecut tapi berasa ada mint dan segar di tenggorokan.

Ngopi, tujuan utama kami naik Gunung Andong
Ngopi, tujuan utama kami naik Gunung Andong

Jam tiga sore akhirnya kami memutuskan untuk turun gunung bersamaan dengan kabut tebal yang turun. Kami turun gunung menggunakan rute yang berbeda dari sebelumnya. Kabut akhirnya menumpahkan air yang sedari tadi dibawanya. Dengan cekatan kami memakaikan cover untuk tas kami, melindungi gadget yang ada di dalam tas. Hanya ada satu orang di antara kami yang membawa jas hujan. Dia pun urung memakainya dan lebih memilih berjalan dalam guyuran hujan bersama-sama. Sepertinya dia merasa tidak enak hati dengan kami bertiga yang tidak membawa jas hujan. Awalnya saya ingin membawa payung kecil, tapi urung saya lakukan. Percuma juga menggunakan payung dalam guyuran hujan yang deras seperti ini. Toh sudah lama juga saya tidak hujan-hujan seperti ini. Kurang dari satu jam kami menuruni gunung hingga sampai di base camp lagi.

Puncak Gunung Andong berselimut kabut
Puncak Gunung Andong berselimut kabut

Di base camp sekali lagi kami mengeluarkan bekal yang belum habis dimakan di atas tadi. Kali ini menunya adalah roti bakar dengan susu coklat sebagai makanan pembuka. Benar-benar tidak salah saya mengajak teman saya satu ini. Selain sebagai seorang fotografer dan guide, dia juga  bisa menjadi koki yang handal. Hehe.. Belum kenyang dengan roti bakar, kami kembali memasak sisa mie instan dan kornet. Benar-benar laziz dan cocok untuk mengisi perut kami yang lapar karena kedinginan diguyur hujan. Tak lupa nutrisari tolak angin menjadi baverage spesial kami. Sekitar jam setengah lima kami sepakat untuk pulang ke rumah ketika hari sudah mulai gelap.

credit foto: Dian Pramudita