Bule Kampung Jadi Artis

Anak-anak yang meminta tanda tangan seusai pelajaran

Sebagai seorang pengajar, bisa mengajar anak-anak di desa adalah salah satu impian saya. Keinginan itu muncul saat saya jengah dengan situasi di tempat saya mengajar. Sekolah unggulan seringkali mempunyai murid dengan motivasi yang rendah. Berbeda dengan anak-anak desa yang seringkali mempunyai motivasi belajar yang lebih tinggi. Lingkungan menjadi salah satu faktor utama yang menentukan tinggi rendahnya motivasi belajar siswa, diikuti dengan dukungan dari orang terdekat, yakni orang tua dan saudara. Mengetahui hal tersebut membuat saya selalu bermimpi untuk bisa mengajar anak-anak di sekolah yang jauh dengan suasana perkotaan. Hampir setahun setelahnya, keinginan tersebut terwujud hari ini. Saya dan seorang teman bule berbagi pengalaman dengan anak-anak di Sekolah Dasar Negeri Ujung-Ujung 3 di sebelah timur Salatiga.

Semua berawal ketika Mas Putut, pemilik bimbel Margi Alit, mengundang saya ke rumahnya untuk membicarakan program mengajar Bahasa Indonesia untuk siswa baru, Daniel. Daniel sudah fasih berbicara Bahasa, bahkan lebih fasih dari Rubi. Ini adalah kali ke dua Daniel datang ke Salatiga untuk belajar Bahasa Indonesia. Pertama kali dia datang ke Salatiga pada tahun 2007. Mas Putut meminta saran tentang variasi mengajar Bahasa Indonesia yang baru. Seperti kata pepatah, pucuk dicinta ulam tiba, ide terliar saya tiba-tiba datang tanpa diundang; mengajak bule itu untuk mengajar di sekolah dasar. Saya teringat kelas inspirasi milik Anies Baswedan. Di kelas tersebut, siapapun bisa mendaftar untuk berbagi cerita dengan anak-anak sekolah dasar selama sehari. Ide dari kelas inspirasi tersebut adalah untuk menginspirasi anak-anak SD agar mereka semangat dalam belajar. Mencontek konsep tersebut, saya pun segera menjelaskan ide saya untuk mengajak bule tersebut ke sekolah dasar di desa ujung-ujung. Tanpa pertimbangan panjang, Mas Putut langsung setuju dengan ide saya. Dia tertarik dengan ide saya. Dan saya pun tak sabar untuk mewujudkannya.

Akhirnya diputuskan bahwa SDN Ujung-Ujung 3 menjadi tempat yang akan dikunjungi dengan pertimbangan SD ini berada di pelosok desa dan kepala sekolahnya adalah ibu Awang, teman baik saja. Akan menjadi lebih mudah kalau saya kenal dengan kepala sekolahnya secara pribadi karena biasanya birokrasi di sekolah cukup ribet dan memerlukan surat pengantar resmi. Karena saya kenal baik, tentu saja birokrasi yang berbelit-belit bisa dipangkas. Hehehe.. 

Anak-anak mengintip dari balik jendela (foto: Erio Fanggidae)

Selasa pagi kami, Daniel, Ruby, Mas Putut, saya, memutuskan untuk berkumpul jam setengah 8 di rumah Mas Putut, rencananya kami akan memulai kegiatan di dalam kelas jam 8. Tapi rencana itu sedikit molor karena saya menunggu Mas Rio yang tiba-tiba ingin ikut karena tertarik dengan cerita saya. Cukup lama saya menunggu kedatangan Mas Rio sampai akhirnya saya memutuskan untuk berangkat dulu karena saya tidak enak dengan pihak sekolah yang sudah menunggu. Saya pun meminta Mas Rio menyusul setelah memberikan petunjuk jalan.

Kami tiba di SDN Ujung-Ujung 3 pukul 9 setelah sebelumnya tersesat karena salah mengambil tikungan. Sampai di sana, ternyata pihak sekolah sudah menunggu. Saya pun meminta maaf karena keterlambatan kami. Kami berbincang-bincang sebentar di dalam ruang guru sebelum akhirnya kami diarahkan untuk masuk ke dalam kelas.
Kami berempat berbagi tugas. Saya mendampingi Daniel di kelas 6 dan Mas Putut mendampingi Ruby di kelas 5. Kami memilih kelas tinggi dengan pertimbangan bahwa mereka bisa berinteraksi dengan Daniel dan Rubi. 

David yang bercita-cita menjadi “tukang tril” (foto: Erio Fanggidae)

Anak-anak sangat antusias saat melihat kami memasuki ruang kelas mereka. Anak-anak yang sebelumnya bermain-main di dalam kelas tiba-tiba duduk rapi di bangku mereka masing-masing. Rasa heran tampak di muka mereka saat melihat Daniel bisa berbicara bahasa indonesia. Kelas dimulai dengan sedikit canggung karena itu adalah kali pertama untuk anak-anak bertemu dan berbincang dengan bule secara langsung. 

Setelah sedikit perkenalan, Daniel segera memulai cerita tentang kehidupannya di Amerika dan bagaimana dia memperkenalkan dirinya sebagai seorang petani dan anak kampung di sana. Daniel juga bercerita tentang hobinya dan menjelaskan sedikit tentang kebiasaan orang Amerika yang suka berbicara tentang cuaca. 

Yang menarik untuk saya amati adalah mimik muka yang ada di wajah anak-anak tersebut. Kadang bingung, malu, dan juga heran. Mas Rio akhirnya ikut bergabung untuk mendokumentasikan moment yang langka tersebut. Awalnya sedikit susah untuk membuat anak-anak berinteraksi karena mereka masih takut, tapi setelah beberapa kali interaksi tanya jawab, akhirnya mereka sedikit bisa berbaur. Anak-anak begitu antusias saat saya tanya siapa yang ingin bekerja di luar negeri, padahal sebelumnya mungkin saja mereka tidak pernah berpikir tentang itu. Beberapa anak tampak serius mendengarkan sambil sesekali mengangguk setuju. Sepertinya Daniel telah menginspirasi mereka. Saya begitu senang melihat anak-anak itu termotivasi.

Anak-anak menunggu di luar saat seorang guru asing sedang mengajar di dalam kelas (foto: Erio Fanggidae)

Beberapa anak-anak dari kelas lain tampak penasaran dengan kelas kami, beberapa bahkan sampai mengintip dari jendela untuk sekadar mencuri dengar tentang apa yang terjadi di dalam kelas. Mereka semua mencari tau apa yang dilakukan seorang bule di dalam kelas di sebuah sekolah di desa yang cukup pelosok. Sungguh lucu. Tak henti-hentinya saya tersenyum dan sesekali tertawa melihat kepolosan tingkah mereka. 

Di akhir acara kelas, saya meminta anak-anak untuk berfoto bersama. Tak diduga ternyata mereka sangat gembira mendapat ajakan tersebut. Sepertinya itu adalah momen yang mereka tunggu dari awal, berfoto bersama bule. Hahaha…

Saya semakin senang sekaligus heran dan kaget saat melihat tingginya antusiasme anak-anak yang sampai meminta tanda tangan kepada Daniel dan Ruby. Mereka bak seorang aktor terkenal yang sampai dimintai tanda tangan. Kami semua tertawa melihat perilaku anak-anak yang tak terpikirkan sebelumnya ini. Mereka mendadak menjadi selebriti di SDN Ujung-Ujung 3. Bahkan mereka sampai mengantre di depan pintu ruang guru hanya untuk menunggu mendapat giliran tanda tangan Daniel dan Ruby. Hahaha.. Yang paling lucu, salah seorang siswa sempat meminta tanda tangan di kaos dan topi mereka. Walau akhirnya hal itu tidak diperbolehkan karena akan membuat kotor pakaian mereka. 

Ini lah yang saya ingin lihat. Antusiasme siswa dan bagaimana hal itu bisa membuat mereka semakin termotivasi untuk belajar. 

Melihat kerbau seusai mengajar anak-anak di SD

Selesai dengan acara di sekolah, kami diantar oleh ibu Awang untuk berkeliling di tetangga sekitar untuk melihat proses pengambilan air nira dari pohon kelapa secara langsung. Seorang petani nira bisa memanjat hingga 75 pohon dalam sehari dan dilakukan selama dua kali sehari, pagi dan sore. Kami sempat mencicipi air nira yang telah direbus. Rasanya sangat manis dan katanya kalau air itu dibiarkan, bisa berfermentasi menjadi tuak dan itu cukup memabukkan. Kami juga sempat melihat proses pendidihan air nira tersebut yang setelah 5 jam di atas tungku tradisional dengan bara dari kayu, akan berubah menjadi gula merah atau gula jawa. Air nira dari 10 pohon bisa menghasilkan 1,5 kg gula merah, kata petani nira tersebut. Dan biasanya satu kilogram gula merah dihargai 10K. Murahnya harga tidak sepadan dengan usaha dan resiko atas pekerjaan yang dijalani. 

Kami juga sempat melihat proses pemuatan besek, yang biasanya akan digunakan sebagai tempat untuk ikan pindang. Seratus besek dijual kepada pengepul dengan harga 4K dan paling mahal 7K. Lagi-lagi harganya tidak sepadan dengan tenaga yang dihabiskan. Tapi memang begitulah, semua jasa di desa dihargai dengan sangat murah. Puas dengan besek dan nira, ibu Awang mengajak kami melihat kerbau yang besar. Satu kerbau bisa bernilai 20 jt lebih. Harga yang sangat fantastis untuk seekor kerbau.

Perjalanan kami ditutup dengan masakan tradisional, singkong yang direbus di dalam air nira. Rasanya benar-benar luar biasa enak. Manis dan gurih bercampur dengan sempurna. Itu pertama kalinya kami memakan singkong rebus seperti itu. Petualangan kami ditutup dengan rasa puas akan pengalaman dan perut penuh. Tak lupa kami menyempatkan diri untuk berfoto bersama guru-guru dan anak-anak sebelum meninggalkan SD tersebut, sambil berharap akan kembali lagi untuk berbagi pengalaman dengan anak-anak SDN Ujung-Ujung 3 yang luar biasa. 🙂

Murid-murid SDN Ujung-Ujung 3 (foto: Erio Fanggidae)

 

1 Comment

Comments are closed.