Menyelami Pesona Bawah Laut Pulau Menjangan

Snorkeling di Pulau Menjangan
Snorkeling di Pulau Menjangan (foto: Dian Pramudita)

Suara mesin kapal menderu-deru membawa perahu kami berlari-lari di atas lautan nan biru. Laut yang tenang dan angin sepoi yang membelai membuat kami benar-benar menikmati perjalanan. Di belakang, nahkoda perahu bercengkerama dengan guide snorkeling kami sambil mengarahkan kemana kapal kayu kami melaju. Tujuan kami hanya satu untuk hari itu, Pulau Menjangan.

Ini adalah hari terakhir petualangan kami di Banyuwangi, Jawa Timur selama lima hari. Sebelumnya kami sempat naik ke Kawah Ijen memburu api biru lalu turun ke Pantai Pulau Merah menikmati matahari terbenam yang memulas langit biru menjadi merah merekah dan kemudian berpetualang di Afrikanya Indonesia, Taman Nasional Baluran. Akhirnya sederatan panjang petualangan ini kami tutup dengan menikmati pesona bawah laut Pulau Menjangan.

Pertama kali saya snorkeling di Pantai Lovina, Bali, walaupun saat itu alam bawah lautnya tidak begitu kaya akan warna warni koral dan ikan, saya tetap saja jatuh cinta. Sejak itu setiap kali pergi ke daerah laut, saya selalu mencoba snorkeling. Untungnya teman-teman petualang saya suka berenang dan snorkeling juga menjadi agenda wajib kami.

Untuk bisa snorkeling di Pulau Menjangan, kami berenam memilih untuk menyewa sebuah perahu dengan harga 1,6 juta. Harga tersebut sudah termasuk dengan makan siang, snack, jaket pelampung, snorkel dan fin. Cukup mahal? Awalnya saya berpikir demikian, tapi semua itu terbayar setelah melihat alam bawah laut Pulau Menjangan.

Satu jam kami mengarungi lautan dari Dermaga Bangsring hingga akhirnya sebuah pulau tujuan kami terlihat jelas. Perahu mulai menepi. Dengan cekatan pemandu snorkeling kami melompat ke perahu di sebelah kami dan meraih pasak dermaga untuk mengikat tali perahu. Perahu sudah tertambat dengan sempurna. Lalu dia memberi tanda kepada kami untuk turun ke Pulau Menjangan. Di saat yang sama, rombongan wisatawan domestik dan mancanegara juga baru saja sampai di Pulau Menjangan.

Akhirnya kami menginjakkan kaki di Pulau Menjangan (dok.pri.)

Sebuah gapura selamat datang menjadi pintu masuk pulau yang memiliki pasir putih ini. Pulau ini kecil dan hanya ada beberapa bangunan untuk berteduh. Beberapa malah belum selesai dibangun. Matahari yang terik membuat kami hanya berlindung di bawah pepohonan. Hanya Jujuk, Ayu dan Ratri yang mencoba menyusuri garis pantai pasir putih Pulau Menjangan. Untuk sebuah pulau tak berpenghuni, pulau ini cukup kotor. Banyak sampah berserakan di bibir pantai. Sepertinya itu adalah sampah-sampah yang terseret ombak dan akhirnya terdampar di sana. Ada juga sampah yang memang sengaja ditinggalkan pengunjung yang mampir di sini.

Pulau Menjangan, demikian sebutannya, memang dinamakan begitu karena banyak binatang menjangan yang tinggal di sini. Dulunya mereka tinggal di pulau sekitar dan mungkin karena alasan makanan mereka berenang ke pulau ini. Sejak saat itu, menjangan tersebut mendominasi pulau ini. Mereka banyak terlihat jika dilihat dari balik pulau. Beberapa kali saya melihat mereka dalam jumlah yang cukup banyak saat melintasi bagian belakang pulau. Sepertinya pulau ini adalah habitat yang tepat karena di sini mereka aman dari predator. Manusia pun dilarang untuk memburu menjangan di pulau ini.

“Ada tiga spot snorkeling yang akan kita kunjungi, mas,” jawab pemandu snorkeling kami saat saya tanya berapa banyak spot snorkeling yang akan disambangi hari itu. Kami meluncur ke spot pertama setelah bertolak dari Pulau Menjangan. Teman-teman bersiap dengan melumuri sunblock pada kulit agar tidak terbakar matahari saat berenang nanti. Kami benar-benar beruntung karena matahari bersinar sangat terik di musim penghujan ini. Padahal biasanya awan mendung mulai menggelayut sedari pagi, tapi tidak pagi itu.

Sesampainya di spot pertama, kami terkejut melihat banyak ubur-ubur kecil dan halus mengapung di permukaan air laut. Beberapa dari kami khawatir jika ubur-ubur itu menyengat. Ratri yang mempunyai pengalaman disengat ubur-ubur saat di Karimunjawa sedikit parno saat melihatnya. Tapi pemandu kami meyakinkan kalau ubur-ubur tersebut aman. Saya pun mencoba menyentuh ubur-ubur tersebut dan memang aman. Tidak ada rasa tersengat di kulit saat menyentuhnya. Hanya perasaan hangat saja yang saya rasakan. Rasanya seperti berada di Derawan yang terkenal dengan stingless jellyfish-nya atau ubur-ubur tak menyengat.

Keanekaragaman flora dan fauna di Laut Pulau Menjangan
Keanekaragaman flora dan fauna di Laut Pulau Menjangan (foto: Dian Pramudita)

Jangkar diturunkan. Kami segera memakai snorkel dan fin bersiap untuk turun ke dalam air. Begitu masuk ke dalam air, kami disambut oleh pemandangan warna-warni koral dan ikan yang berlenggak-lenggok kian kemari. Berbagai macam ikan dengan warna warna yang cantik membuat kami terpana. Roti yang sudah kami siapkan, kini disebar agar mereka mau berenang mendekat. Tak perlu waktu lama, kami sudah bak artis yang dikerubuti oleh penggemar dari dunia air. Arus yang tenang membuat kami dengan mudah berenang menikmati pemandangan bawah laut Pulau Menjangan yang menawan ini.

Satu jam berlalu. Pemandu kami meminta semua untuk naik ke perahu. Kami dibawa ke spot ke dua yang katanya lebih bagus dari spot pertama ini. Kami memutari Pulau Menjangan dan berhenti di bagian belakang Pulau Menjangan. Begitu sauh diturunkan, kami pun segera memakai snorkel dan fin, tak sabar untuk segera menjumpai ikan warna-warni penggemar roti. Koral dan ikan di sini lebih kaya dan bervariasi daripada koral yang ada di spot pertama. Pemandangan yang indah ini semakin memesona karena cahaya mentari yang menghujam air laut dan membentuk berkas-berkas cahaya. Kami semakin terbuai dengan segala keindahan bawah laut Pulau Menjangan.

Jarak antara koral dengan permukaan laut yang sempit membuat kami harus berhati-hati saat berenang agar kaki kami tidak mengenai koral. Koral membutuhkan waktu yang sangat lama untuk tumbuh. Bahkan, dalam satu tahun saja hanya tumbuh beberapa centimeter, jadi sangat disayangkan jika koral tersebut patah hanya karena ketidakhati-hatian para perenang.

Ikan-ikan penghuni karang di Laut Menjangan
Ikan-ikan penghuni karang di Laut Menjangan (foto: Dian Pramudita)

Saat sedang asik berenang melihat-lihat koral dan mengejar ikan, tiba-tiba dari belakang pemandu snorkeling kami menghampiri saya dan memberi tanda untuk mengikutinya. Setelah itu dia menunjuk pada sebuah batu yang ada di depan. Saya mengejarnya dan menemukan sebuah batu berlubang. Pemandu kami menawarkan diri untuk mengambil foto saya dari balik lubang tersebut. Ini adalah spot rahasia katanya. Tidak semua orang tahu. Memang benar apa yang dia katakan karena walau banyak grup snorkeling di sekitar kami, tidak ada satupun dari mereka yang berenang hingga ke sini. Kebanyakan hanya berenang bergerombol di sekitar perahu mereka. Bahkan pemandu mereka pun tak mengarahkan mereka ke spot ini.

Terlalu lama berenang membuat badan kami menggigil. Terik mentari nyatanya tak mampu mengusir dingin yang hinggap ke badan kami. Kulit jari jemari kami menjadi keriput layaknya kulit jeruk layu. Untungnya kami membawa trangia dan kopi. Pemandu dan nahkoda perahu kami sedikit terpana melihat lengkapnya peralatan kami. Kelihatannya baru kali ini mereka melihat ada orang yang memasak air untuk menyeduh kopi di atas perahu mereka. Begitu juga dengan grup lain yang berada di perahu di sebelah kami. Mereka memandang kami dengan raut muka penuh heran yang seolah-olah berkata, “Kok bisa-bisanya mereka masak air di atas perahu sih?” Tak perlu waktu lama, kopi dan teh pun sudah jadi. Kami bersantai sambil menyeruput kopi, teh dan sekerat roti sembari menunggu badan kami menghangat kembali sebelum memutuskan untuk kembali ke dalam air.

Kami memutuskan untuk pindah menuju spot snorkeling terakhir saat matahari sudah mulai tergelincir ke barat. Semua sudah kembali ke perahu kecuali Ucil. Manusia satu ini memang seperti ninja yang suka menghilang tiba-tiba. Kami melihat-lihat permukaan air di sekitar perahu berusaha mencari tanda-tanda keberadaannya. Tidak ada tanda-tanda darinya. Kami tidak terlalu khawatir karena dia perenang handal. Hanya saja kami harus menemukannya untuk bisa ke spot terakhir.

Ikan badut atau Nemo melindungi anemon sebagai sarangnya
Ikan badut atau Nemo melindungi anemon sebagai sarangnya (foto: Dian Pramudita)

Awang melihat tanda keberadaan Ucil. Tak disangka ternyata dia sudah berada sekitar 150 meter dari perahu kami. Kami berusaha memanggilnya tapi tak ada sambutan. Lalu kami pun memutuskan untuk menghampirinya. Alasannya begitu asyik sampai lupa waktu ternyata adalah ikan nemo. Dia mencoba mengambil video ikan badut yang sedang berada di sarangnya, anemon. Sayang sekali kami harus cabut ke spot terakhir. Padahal kalau saja ada waktu sebentar, saya pun ingin melihat nemo tersebut.

Menurut pemandu kami, spot ketiga ini adalah spot terbaik dari dua spot sebelumnya. Pertanyaan saya hanya satu, bisakah kami melihat nemo, ikan badut di habitat aslinya? Dengan yakin pemandu kami mengatakan bisa. Kami sangat senang mendengarnya. Walaupun banyak sekali ragam jenis ikan di laut, tapi rasanya tidak lengkap jika belum bisa melihat ikan nemo di habitat aslinya. Bisa jadi kami terpengaruh oleh film Finding Nemo, film tentang ikan badut berwarna putih bergaris oranye pada tubuhnya yang mengarungi samudra untuk mencari anaknya yang ditangkap manusia. Ah, tak mengapa. Toh ikan itu juga lucu dan menarik.

Sauh diturunkan kembali. Sebelum snorkeling, saya meminta pemandu kami untuk menunjukkan spot di mana kami bisa melihat ikan nemo di sarangnya. Tak disangka letaknya begitu jauh di dasar. Ucil yang sudah biasa ikut diving saja cukup kewalahan mengikuti pemandu kami menyelam apalagi kami yang cuma level snorkeling ini. Pemandu kami bak manusia air yang dengan mudahnya melenggak-lenggok di dalam air dan mampu mencapai dasar dalam waktu yang singkat. Sedangkan kami, belum ada setengah saja dada dan telinga saya sudah sakit padahal teman saya sudah mengajari bagaimana cara untuk menetralkan kondisi telinga setiap kali memasuki kedalaman tertentu atau yang dikenal dengan istilah equalizing. Alhasil saya cuma bisa melihat nemo dari jarak yang jauh, tak berani mencapai dasar. Ikan badut di spot ini cukup banyak, hanya saja mereka semua hidup di kedalaman yang tidak bisa saya jangkau.

Saya mencoba berenang ke arah koral-koral yang tidak terlalu dalam, berharap bertemu nemo di sana, tapi nihil. Walau tidak melihat dengan dekat, saya cukup menikmati keanekaragaman ikan yang ada di Laut Menjangan ini. Begitu juga dengan koralnya yang memang lebih beragam dan berwarna daripada sebelumnya.

Kegembiraan ini pada akhirnya harus berakhir karena waktu sudah habis. Di saat yang sama awan gelap tiba-tiba datang memberi pertanda kami harus pergi. Kelihatannya sebentar lagi akan hujan. Kami bergegas untuk kembali ke pantai agar tidak terjebak hujan di laut. Di tengah jalan, pemandu kami menawarkan untuk mengunjungi spot satu lagi yang berada tidak jauh dari dermaga. Tidak seperti yang sebelumnya, di sini kami ditantang untuk berenang dengan hiu koral.

Kami berlabuh di sebuah bangunan kayu yang mengapung tidak jauh dari pantai. Dua pondok terlihat di ke dua sisinya dan sebuah lubang berbentuk persegi terletak di antara dua bangunan tersebut. Kami turun dan membayar sepuluh ribu untuk atraksi berenang dengan hiu. Saya melongok ke dalam lubang persegi yang cukup lebar tersebut. Di dalamnya terlihat empat hiu berenang di dalam kolam dengan jala yang dibuat sebagai sekat pembatas agar merak tak lari ke laut lepas. Tempat ini seperti sebuah penangkaran hiu. Dua dari lima hiu tersebut cukup besar dan panjang. Kami bergantian masuk ke dalam, berenang dan mengambil foto dengan hiu koral tersebut. Ini pengalaman pertama bagi saya untuk bisa berenang bersama hiu koral secara dekat.

Jujuk berenang dengan hiu koral (foto: Dian Pramudita)

Hiu koral pada umumnya tidak berbahaya dan tidak menggigit manusia. Mereka tidak seperti hiu putih yang sering dikabarkan suka menyerang manusia yang sedang berenang. Pada dasarnya hiu tidak pernah menyerang manusia dengan sengaja. Hiu seringkali mengira manusia yang sedang berenang sebagai anjing laut yang menjadi mangsa mereka. Kenyataannya bukan hiu yang sering memburu manusia, tapi sebaliknya. Banyak hiu yang diburu oleh manusia hanya untuk membuat sup sirip ikan hiu. Dalam beberapa dekade saja sudah jumlah hiu sudah menurun drastis. Lebih parahnya lagi, sebanyak kurang lebih 190.000 ton hiu ditangkap setiap tahunnya di perairan Indonesia dan ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara penangkap hiu terbesar. Padahal, hiu sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut. Malahan, lautan akan menjadi lebih menyeramkan jika tidak ada hiu.