Bertandang ke Kedung Kandang, Air Terjun Musiman

Hamparan sawah sejauh mata memandang
Hamparan sawah sejauh mata memandang (dok.pri.)

Berbicara tentang musim, siapa sangka ternyata Indonesia memiliki lebih dari dua musim. Awalnya hanya musim panas dan musim hujan yang dikenal. Tapi pada realitanya musim tak hanya milik cuaca. Buah juga mempunyai musim, mulai dari musim rambutan, musim mangga, hingga musim durian. Kata musim digunakan karena buah-buahan tersebut hanya dijual di saat tertentu saja, tidak setiap hari. Namun yang paling menarik adalah musim nikah. Musim jenis ini biasa ditemui saat ada libur panjang dan seringkali ditandai dengan banyaknya janur melengkung di muka gang.

Nyatanya musim tak hanya milik cuaca, tak pula hanya milik buah dan pernikahan. Air terjun pun memiliki musim. Kedung Kandang adalah salah satunya. Air terjun ini berada di Desa Wisata Nglageran, Gunung Kidul. Selain Kedung Kadang, di sini juga terdapat Njurug Talang Purba yang masih berada pada aliran sungai yang sama. Kedung Kandang disebut sebagai air terjun musiman karena debit airnya hanya penuh saat musim hujan saja. Saat musim panas, debit air mengecil karena air di sungai digunakan untuk mengairi persawahan yang terbentang di kanan dan kiri sungai.

Palung-palung kecil pada dasar sungai
Air sungai berwarna hijau memenuhi palung-palung kecil di sungai (dok.pri.)

Untuk mencapai air terjun Kedung Kandang, saya harus berjalan kurang lebih sejauh delapan ratus meter dari tempat parkir. Dua  petunjuk dengan arah berlawanan ditempelkan untuk memudahkan pengunjung yang ingin menuju Kedung Kandang dan Njurug Talang Purba. Suasana petualangan sudah terasa saat jejakkan kaki pertama. Pertama kami harus melewati hutan dengan jalanan batuan yang cukup curam. Tidak sampai sepuluh menit berjalan, kami dihadapkan dengan keindahan alam yang membentang. Sebuah pemandangan sawah yang menguning sejauh mata memandang dengan sungai sebagai pembatas garis tengah. Ditambah lagi batu-batu besar sisa-sisa gunung api purba berserakan. Ada kemungkinan sungai ini pernah menjadi jalur muntahan lava dari Gunung Purba Nglanggeran yang berada tak jauh dari sini. Sejenak saya merasa memasuki sebuah dunia lain dengan hutan sebagai pintu masuknya. 
 
Papan petunjuk mengarahkan ke mana kami harus berjalan. Jalan menuju Kedung Kandang sangat mudah ditempuh. Bahkan di jalanan yang menurun sudah dibuatkan pijakan anak tangga oleh masyarakat sekitar. Tak hanya indah, Kedung Kandang juga  bersih sebagai tempat wisata. Masyarakat sekitar tampaknya sudah mulai belajar untuk merawat alam. Terbukti banyak peringatan terpampang untuk menjaga alam. Salah satunya adalah tanda larangan batas berjualan. Para penjual tidak boleh berjualan berdekatan dengan sungai karena dikhawatirkan sampah akan mencemari aliran sungai yang pastinya akan merugikan masyarakat sekitar juga. Tapi saat itu, tidak satu pun warung yang buka. Bulan puasa telah sukses membuat  pengunjung malas untuk berkunjung. Saya merasa beruntung karenanya. Saya bisa menikmati suasana Kedung Kandang tanpa harus berdesakkan dengan pengunjung lain. Tapi di saat yang sama saya merasa sedikit kecewa karena debit air sungai sangat kecil sehingga saya tidak bisa melihat air sungai meluncur deras. “Airnya memang lagi kecil, mas. Ke sini lagi saja saat musim hujan,” kata salah seorang petani.

Seorang teman sedang memotret palung
Seorang teman sedang duduk di dekat palung (dok.pri.)

Walaupun begitu, bukan berarti Kedung Kandang tak bisa dinikmati saat debit air sedang kecil. Pesonanya tetap menawan. Dari atas terlihat palung-palung kecil di dasar sungai yang tersebar sepanjang aliran sungai. Dalam palung tersebut tertampung air sungai yang berwarna hijau akibat dari refleksi warna ganggang. Palung tersebut mempunyai kedalaman yang bervariasi. Ada yang dangkal, tak jarang juga yang dalam. Warna hijau dari air menyembunyikan kedalamannya dan meninggalkan teka-teki. Lebih baik tidak gegabah untuk masuk ke dalam palung.
 
Perjalanan kami berakhir di Air Terjun Kedung Kandang. Air terjun ini memiliki tujuh tingkat dengan tingkat pertama yang paling tinggi. Tingginya mungkin sekitar 3-4 meter. Dari atas, air sungai akan terjun dan mengisi palung-palung sebelum akhirnya akan diteruskan ke tingkat dibawahnya. Begitu seterusnya hingga ke tingkat paling bawah. Debit air yang kecil memungkinkan kami untuk menyusuri sungai dengan berjalan di atas bebatuan. Saya harus benar-benar jeli sebelum memijakkan kaki di atas bebatuan. Lumut-lumut hijau tumbuh subur di permukaan batu dan membuat pijakan menjadi licin. Teman saya malah sempat terpeleset karenanya. Sedangkan untuk menuju tingkat paling bawah, dua buah tangga dari kayu dan sebuah tali tambang sudah disiapkan.

Erfix sedang membasuh muka di air terjun Kedung Kandang
Erfix sedang membasuh muka di air terjun Kedung Kandang (dok.pri.)

Matahari sudah mulai meninggi. Saatnya bagi kami pergi meninggalkan pesona Kedung Kandang yang menawan. Kami harus kembali meneruskan perjalanan menuju tempat lain yang rupawan.
 
Sedikit tips saat berkunjung ke sini, gunakan penutup kepala seperti topi dan pakailah sunblok agar tidak tersengat matahari ketika berjalan menuju air terjun. Jangan lupa membawa air minum karena jalurnya yang menanjak saat perjalanan pulang cukup membuat kering kerongkongan. Dan yang terakhir, bawalah kantong plastik untuk menyimpan sampah. Mari menjaga kebersihan Kedung Kandang agar tetap bahari!