Eloknya Sunrise dan Sunset di Gili Trawangan

Sebagai sebuah pulau dengan luas 15 km2 dan terletak di sebelah barat daya dari Pulau Lombok, Gili Trawangan menyimpan kekayaan alam bawah laut yang menjadi daya tarik bagi wisatawan domestik maupun manca negara. Banyak wisatawan yang datang untuk snorkeling atau diving di sekitar Gili Trawangan, Meno dan Air. Selain kekayaan baharinya yang memesona banyak mata, kita juga bisa menyaksikan sunrise dan sunset yang elok di Gili Trawangan.

Luas Gili Trawangan yang kecil memberikan keuntungan bagi wisatawan yang ingin menjelajah pulau ini dan kami berdua salah satunya. Setelah selesai dengan kegiatan snorkeling di tiga gili: Trawangan, Meno, dan Air, kami memutuskan untuk mengelilingi Gili Trawangan menggunakan sepeda. Kami menyewa sepeda dengan harga sekitar 70 ribu rupiah untuk dua hari. Harga yang kami dapat memang tergolong murah, itu semua berkat keahlian menawar teman saya. Ya, untuk masalah tawar menawar ketika akan membeli atau menyewa sesuatu, teman saya memang jagonya. Tipsnya adalah ngeyel dan ngotot.

Kami berdua bersepeda menuju sisi barat Gili Trawangan untuk melihat sisi lain pulau ini. Hanya ada satu jalan utama yang bisa dilewati untuk memutarinya. Jalannya hanya selebar dua cidomo, sebutan untuk transportasi berbentuk kereta kuda, yang disejajarkan. Sepanjang perjalanan kami melihat kegiatan yang hampir sama di semua tempat wisata, restoran dan hotel yang berlomba-lomba menampilkan yang terbaik untuk menarik pengunjung. Saking semangatnya menarik pengunjung ada sebuah restoran seafood yang memasak seafood di pinggir jalan dan lupa kalau asapnya sangat mengganggu orang-orang yang sedang berjalan di sekitarnya. Dan seafood bakar tersebut juga sukses membuat mata saya berkaca-kaca karena asapnya.

Lampion

Kami beberapa kali berhenti sejenak untuk mengambil foto yang sekiranya cukup menarik. Salah satunya adalah sebuah tempat makan malam yang sangat romantis. Sebuah tempat yang bisa membuat seorang wanita bahagia hingga langit ke tiga ketika diajak pasangan pujaannya. Tempat itu berada di pantai dengan pemandangan laut biru yang luas. Tempat tersebut berbentuk kotak seperti sebuah pendopo kecil dengan satu meja untuk berdua. Lampion-lampion digantung sebagai penerangan berpadu dengan warna coklat pasir di sekelilingnya. Sebagai sentuhan akhir, bunga mawar merah yang dibuat menyerupai hati ditaburkan di atas pasir sebelum pondok kecil tersebut.

Tempat makan yang cukup romantis

Semakin kami ke arah barat, ternyata area semakin sunyi. Hingar-bingar yang tadi kami lewati sudah tertinggal jauh di belakang. Jalan yang tadinya bagus pun hanya berupa pasir saja. Alhasil kami harus turun dan mendorong sepeda karena tidak bisa kami kayuh. Suasananya pun cukup sepi. Beberapa cottage tampak menghiasi tapi tak sepadat dan tak seramai di sekitar tempat saya menginap. Sepertinya yang tinggal di sini adalah mereka yang mencari ketenangan. Selama di perjalanan, kami berpapasan dengan beberapa wisatawan asing yang sedang asyik jogging di sore hari. Tampaknya banyak dari mereka masih menyempatkan diri untuk berolahraga walau sedang berwisata.

Matahari sudah mulai tenggelam. Langit yang semula biru muda kini berubah menjadi biru tua. Batas cakrawala berubah menjadi kemerahan seiring dengan tenggelamnya sang surya. Tak ingin ketinggalan dengan momen indah tersebut, kami memutuskan untuk berhenti di sebuah pantai berpasir putih. Sejenak kami di sana, melihat sunset yang cantik luar biasa. Warna biru dengan paduan jingga kemerahan tampak sempurna menghiasi langit di batas barat cakrawala. Kami terlena dengan pemandangan sunset yang menawan sampai akhirnya sadar bahwa perjalanan masih panjang. Ini baru setengah perjalanan memutari Gili Trawangan.

Sunset di Gili Trawangan

Kaki kami berlanjut mengayuh pedal sepeda lagi. Perjalanan tidak terasa berat karena tidak ada tanjakan, hanya pasir yang menjadi kendala kami. Malam sudah mulai mendominasi, perjalanan kami menjadi semakin menantang karena tidak ada penerangan jalan. Beruntung saya membawa sebuah senter yang bisa digunakan untuk menerangi jalan. Suasannya juga semakin sepi, hanya ada kami berdua yang menggunakan sepeda. Padahal sebelumnya banyak sekali kami berpapasan dengan pesepeda lain. Bahkan cidomo yang sebelumnya kebut-kebutan di sini pun sekarang menghilang entah ke mana. Pun begitu kami berdua tetap saja mengayuh sepeda kami dalam kegelapan dan hanya mengandalkan penerangan dari senter.

Hanya dibutuhkan waktu kurang lebih 1 jam untuk mengitari Gili Trawangan menggunakan sepeda. Suasana masih tetap gelap gulita. Saya sempat bertanya-tanya kenapa hotel dan restoran bertema gelap-gelapan malam ini. Setelah melihat bahwa hampir semua restoran, toko, dan hotel yang dalam keadaan gelap gulita, saya baru sadar kalau listrik di seluruh Gili Trawangan mati. Pulau Lombok menjadi andalan pasokan listrik untuk pulau ini. Bayangkan saja kalau pasokan listrik itu terhenti, maka Gili Trawangan akan padam terus seperti malam itu. Jadi senter adalah hal yang wajib dibawa ketika berkunjung ke sini.

Selesai berkeliling, kami mampir di sebuah tempat seperti pasar malam yang dijejali berbagai makanan lokal. Perut sudah keroncongan karena snorkeling dan mengayuh sepeda. Tanpa pikir panjang kami mulai berkeliling melihat-lihat makanan yang dijajakan. Harga yang ditawarkan cukup murah untuk sebuah porsi yang cukup banyak. Kondisi yang gelap dan hanya dibantu penerangan ala kadarnya tak menyurutkan nafsu makan kami. Kami tetap bisa menikmati makan malam tanpa kendala. Mungkin saking laparnya kali yak. Hehehe.. Baru setelah kami selesai makan malam, listrik hidup kembali.

Selesai makan, kami melanjutkan bersepeda sambil melihat kehidupan malam di pulau ini sampai saya berhenti di depan sebuah hotel untuk melihat band lokal yang mengisi hiburan malam di sebuah restoran. Hiburan yang murah meriah untuk seorang backpacker dengan kantong tipis seperti saya. Cukup lama saya berada di sana menikmati musik dan lagu yang dinyanyikan. Tak terasa banyak orang sudah duduk berjajar di dekat tempat saya duduk. Mereka juga mencari hiburan yang murah meriah seperti saya. Tapi saya akui, memang band lokal tersebut sangat bagus membawakan lagu mereka. Tak terasa malam sudah larut dan kami pun kembali ke penginapan untuk tidur.

Sebelum sunrise

Pagi-pagi sekali kami bangun lalu mengayuh sepeda menuju pantai. Sasaran kami adalah sunrise. Tidak seperti sunset di hari sebelumnya di mana kami harus menempuh jarak yang cukup jauh, kali ini kami hanya pergi ke sekitar pelabuhan saja untuk menyaksikan mentari pagi. Saya dan teman saya berpisah karena saya ingin mencari spot yang paling baik untuk melihat sunrise. Tak perlu menunggu lama, sebuah bulatan dengan cahaya merah keemasan sudah terlihat merangkak naik dari balik Pulau Lombok. Berbeda dengan sunset yang didominasi warna kemerahan, pagi ini warna kuning keemasan tampak mendominasi langit timur berpadu dengan warna biru muda. Lautan yang biru juga turut memperindah pemandangan pagi itu dengan merefleksikan warna langit yang indah. Saya duduk di atas pasir diselimuti perasaan takjub. Bagaimana bisa matahari yang sama bisa menghasilkan warna yang berbeda dalam setiap kemunculannya?

Sebelum sunrise

Angin berhembus sejuk membawa aroma laut yang khas. Ombak-ombak kecil menghempaskan diri di pantai menggulung pasir dan batuan yang terjebak di dalamnya. Tertarik, akhirnya saya pun ikut serta bermain air laut yang sedari tadi mencoba meraih jari-jari kaki. Pagi itu tidak begitu ramai, hanya satu dua orang yang saya temui. Mungkin orang-orang sedang terlelap setelah hingar bingar semalaman.

Mentari mulai keluar dari sarangnya

Mentari mulai meninggi. Saya dan teman saya sepakat untuk kembali ke penginapan, mengepaki barang-barang untuk selanjutnya bergegas ke Lombok dengan perahu pertama yang berangkat jam 8 pagi. Kami berangkat pagi-pagi untuk mengejar kapal feri dengan tujuan Bali.

Kapal-kapal yang berlabuh
Suasana pagi yang masih sepi
Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air